Januari 2025 hampir usai. Ini status pertama tahun 2025. Biasanya Januariku gegap gempita dengan status receh soal resolusi dan semangatnya. Juga riuh album-album baru yang digadang-gadang jadi simpanan tulisan dan foto.

Apalagi anak lanang kami baru saja menikah. Biasanya akan hilir-mudik foto-foto bahagia dan tulisan berseri berisi hati bungah dan senyum semringah. Tapi statusku malah sepi. Hanya hubby yang konsisten menulis dan berbagi. Hmmm ….

Setelah kabar duka akhir 30 Desember 2024 itu, aku seperti berjalan di seutas benang. Kadang memijak permukaan, kadang harus waras karena seperti meniti di ketinggian. Kupikir sedih itu sudah habis saat kami takziyah.

Aku datang pagi itu dengan tenang dan hati kuat. Bertiga dengan hubby dan anak lanang, kami menembus rintik hujan menuju kampung Waringin, Kabupaten Serang, untuk takziah ke rumah duka dimna almarhum Abdul Salam – Presiden Rumah Dunia 2018-2024 dibaringkan. Aku pikir sudah menyiapkan diri sekuat tenaga bertemu dengan istri almarhum.

Di teras depan aku bertemu ibu mertua almarhum, dan kami berpelukan. Beliau terisak menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan almarhum, dan berterima kasih atas segala yang kulakukan untuk anak dan menantunya.

Aku tidak sanggup lagi menahan rasa sedih yang ingin meledak.
Di teras depan, dua orang ibu berpelukan dan bertangisan. Keduanya saling menyebut kebaikan almarhum.

Kupikir air mataku sudah habis di teras itu. Rasanya sudah lega mengungkapkan sedih yang tertahan-tahan sejak mendengar kabar duka di subuh itu. Aku ditelepon istri almarhum beberapa menit setelah kepastian wafat, tapi aku tak mendengar dering ponsel. Begitu membaca berita duka di grup relawan Rumah Dunia pun, aku tidak segera membalas telepon. Aku hanya mengirim pesan, saat itu tak sanggup mendengar kabar langsung.

Aku memasuki rumah duka, menemui istri almarhum yang duduk diam ditemani kerabat. Aku menyalami perempuan muda yang sudah seperti anakku sendiri. Tangisnya pecah memelukku. Hubby ke ruangan dimana jasad almarhum disemayamkan.

Kedua kalinya pagi itu aku menangis. Mungkin seharusnya aku mendengar saja tangis duka istri almarhum. Tapi aku malah menyuruhnya lebih kuat, karena almarhum sudah melatihnya dalam banyak bidang. Aku malah membicarakan serentetan semangat dan kesaksian atas kebaikan almarhum.

Istri almarhum pun bercerita betapa banyak keterampilan yang diajarkan almarhum kepadanya. Seolah almarhum telah menyiapkan istrinya sejak jauh-jauh hari untuk mandiri. Aku cuma bisa menyemangati dan memintanya kuat karena masih ada Ozora – anak balita mereka. Aku sadar duka ini adalah permulaan perjalanan barunya, tak ada formula dan template sama dalam kondisi ini. Tak ada duka yang dapat disamakan.

Beberapa hari sesudahnya, tiap melewati Rendez-vous Cafe dan menoleh ke deretan kursi di bawah pohon, aku masih saja terkesiap. Seolah almarhum sedang duduk di situ, sedang mengetik atau membaca buku.

Di kursi yang sama, ketika kami tengah serius berdua membicarakan kegiatan Rumah Dunia, almarhum berkata, “Ibu, saya sudah menganggap ibu dan mas Gong seperti orang tua saya sendiri. Jadi kalau saya salah, Ibu boleh menegur dan memberitahu saya.”

Aku membalas dengan anggukan dan bercanda, “Bukannya sejak dulu saya sering menegur dan mengomeli semua relawan, ya? Hahaha….”

Tapi almarhum tidak tertawa. Aku jadi sadar keseriusannya. Akhirnya aku iyakan kata-katanya. Sejak itu entah berapa kali aku sampaikan kekhawatiran dan ketidaksetujuanku, seperti kepada anak sendiri. Sesekali dengan bercanda aku mengkritik sikap dan tindakannya. Seperti biasa, almarhum akan terdiam mencerna.

Minggu-minggu awal setelah kepergiannya, aku masih saja refleks ingin menelepon atau menulis chat:
‘Om Salam, ada kelapa muda gula aren?’
Sampai hari ini rasanya belum percaya almarhum tak bisa lagi ditemui. Jika mengingat kenyataan itu, aku cuma bisa mengenang kebaikan-kebaikannya.

“Ibu mau dibuatin americano?”
“Okey, Bu! Siap! Nanti saya antarkan ke ruang kerja mas Gong!”
“Bu, saya ingin ngecat cafe buat acara pertemuan dengan Abi dan istrinya. Saya sudah beli alat semprot catnya.” Abi – putra kedua kami yang mukim di Abu Dhabi rencananya pada 9 Januari 2024 akan datang ke Rendez-vous Cafe, mengenalkan isterinya kepada relawan Rumah Dunia.

Tak akan ada lagi penutup percakapan semacam, “Gitu ya, Bu! Tengkyu, Bu. Yuk, yuk, assalaamu’alaikum.”
Selamat mendiami tempat nyaman, Om. Selamat menunggu panggilan memasuki Jannah dengan tenang.
Al Fatihah untuk Abdul Salam bin H Husni.
Allahummaghfirlahuu warhamhu wa’aafihi wa’fu’anhu

Tias Tatanka

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5