
Oleh Muhzen Den
Saya menulis ini semata-mata untuk mengenang dan mengabadikan momen bersama bapakku semasa masih hidupnya.
Saya bergabung dengan Rumah Dunia sejak tahun 2002. Saat itu, saya dikenalkan kepada dua pasangan suami-istri (Mas Gol A Gong dan Mbak Tias Tatankan) yang mencintai dunia baca-tulis. Dari situ saya mulai aktif di Rumah Dunia, mulai dari ikut bersih-bersih, ikut baca buku, ikut belajar menulis, sampai ikut diskusi kegiatan.
Melihat saya, saudara saya, dan beberapa teman aktif di Rumah Dunia, bapak juga mulai ikut bantu-bantu di sana. Mulai dari ikut menanam pohon kelapa, sirsak, dan pohon lainnya di sekitar RD bersama Mas Gol A Gong maupun relawan yang lain, sampai dengan ikut kegiatannya.
Keikutsertaan beliau semata-mata karena suka dan cinta dengan aktivitas literasi. Pada lain waktu, bapak juga ikut menghadiri acara diskusi buku di RD. Saya kadang canggung awalnya. Namun lama-lama, bapak memang menyukai dunia baca. Apalagi anak-anaknya juga aktif jadi relawan di Rumah Dunia.

Kadang saya mendapati bapak sedang ikut nimbrung bersama para relawan untuk sekadar baca koran. Di rumah saya jarang melihat bapak baca buku umum–lebih seringnya baca kitab kuning dan Al-Quran. Bapak tipe orang menyukai kumpul-kumpul sambil ngobrol.
Saya merasa dulu waktu masih muda bapak adalah anak tongkrongan. Namun, setelah saya tanya langsung ke beliau bahwa dia memang suka berkumpul dengan teman-temannya, tapi hanya sekadar mengobrol dan tidak untuk yang lainnya.
Bapak dengan tegas dan keras melarang siapapun anaknya jangan sampai minum miras atau main kartu ‘judi’. Bahkan, persoalan kuping ditindik hingga badan ditato pun bapak tidak menyukainya. Memang bapak nggak pernah sekolah formal seperti sekarang. Beliau hanya sekolah rakyat berbasis pesantren. Jiwa pesantren dari keluarganya membuat bapak banyak dimintai bantuan soal tasyakuran sampai ziarah kubur.
Keterlibatan di Rumah Dunia karena memang beliau menemukan aktivitas kumpulan sambil berdiskusi. Seperti halnya kumpulan pengajian mengkaji kitab dan lainnya. Meskipun usia bapak sudah tua tapi jiwanya tetap muda. Andai zaman dulu ada tempat-tempat seperti Rumah Dunia, mungkin bapak sudah menjadi orang hebat dan sukses.
Namun, bapak bukan tipe pribadi yang ingin unjuk diri di depan banyak orang. Beliau pemikir dan pemerhati. Jika ada seseorang di kampung kurang atau salah dalam memahami ajaran agama, bapak kadang suka mengajak berdiskusi untuk saling mencari solusi. Namun, jika ada orang yang lebih paham dari beliau tentang agama, bapak akan dengan senang hati saling berbagi pemikiran dan pengalaman. Kadang bapak tak sungkan meminta nasihat atau pemahaman agama yang belum ia ketahui.

Harapan bapak ketika anak-anaknya bergabung dengan Rumah Dunia agar melek literasi. Selain itu, agar anak-anaknya lebih baik dari beliau soal pendidikan dan lainnya. Saya merasa keinginan beliau sangat berlebihan di tengah kondisi rumah yang kekurangan. Namun, keyakinan bapak memang nyata bahwa sukses dimulai dari kesukaan membaca.
Memang di rumah kami tidak banyak memiliki buku-buku bacaan karena kondisi keluarga. Namun, keberadaan Rumah Dunia justru bagi keluarga kami anugrah sekaligus manfaat karena dapat mendekatkan pada buku.
Semangat belajar bapak dengan ikut bantu-bantu di Rumah Dunia membuat saya sebagai anaknya harus bisa lebih baik dari beliau. Saya sampai saat ini merasa sebagai relawan meskipun generasi di Rumah Dunia sudah silih berganti. Begitu juga bapak yang kini telah tutup usia (27 Januari 2025).
Relawan bagi bapak adalah ikut mengabdi tanpa pamrih. Beliau membersamai pertumbuhan anak-anaknya sebagai relawan di Rumah Dunia dengan ikut juga menjadi relawan. Meskipun beliau tidak pernah mengakui dirinya telah menjadi relawan di Rumah Dunia.

