
Oleh Natasha Harris
Rabu 15 Januari 2025 adalah hari terakhir aku di Solo. Aku masih punya sedikit waktu sebelum kereta berangkat pukul 11 pagi. Setelah checkout dari hotel, aku memutuskan untuk menyempurnakan perjalanan singkatku ini dengan mencoba kuliner legendaris yang sudah jadi ikon Kota Solo.


Soto Triwindu, sudah ada sejak 1939 di Kota Solo. Kata eyang dan mama (lahir dan besar di Solo) Soto Triwindu ini wajib banget dicoba karena merupakan soto legendaris. Dari perkataannya kepadaku, aku bisa merasakan bahwa soto ini menyimpan rasa khas Solo yang harus dihadapi langsung di tempatnya.


Setibanya di sana, tempatnya ramai banget, bahkan begitu ada pengunjung yang selesai makan, akan segera tergantikan dengan pengunjung baru. Lokasinya ada di Jl. Teuku Umar, mudah ko menemukannya (terdaftar di maps juga) karena Soto Triwindu terletak di pusat kota, tepat di tengah keramaian Solo.
Begitu masuk, aku langsung ditanya berapa porsi yang akan dipesan. Dengan sigap aku bilang 1 porsi dan segelas es teh manis, setelah itu aku langsung mencari tempat duduk. Kursinya cukup sederhana, berhadapan seperti di warteg.

Ketika pesananku datang, dari visualnya, aku langsung tahu ini akan jadi rasa makan yang gak terlupakan. Porsi sotonya penuh dan asapnya masih mengepul, menunjukkan kesegaran makanan yang baru dimasak. Di meja ada kontainer berisi sate-satean, aku mengambil 1 tusuk sate telur puyuh untuk menambah kenikmatan soto tersebut.
Bingung juga kata yang tepat untuk menjelaskan rasanya seperti apa, tapi Soto Triwindu ini dilidahku bener-bener mencerminkan kehangatan kota Solo. Setiap suapan memberikan kesan seakan makanan ini sudah menjadi bagian dari sejarah dan budaya Solo yang patut dihormati. Kuahnya segar, potongan daging yang lembut, dan sate telur puyuh yang menambah cita rasa yang luar biasa.

Soto Triwindu benar-benar seperti makanan yang sudah disukai oleh banyak orang selama bertahun-tahun, dan bagi aku, itu memberikan rasa nostalgia Solo yang begitu dalam. Entah kenapa saat itu ada rasa haru ikut menyelimuti hati. Aku membayar 28 ribu untuk semua itu, dan menurutku harga tersebut sangat sebanding dengan kelezatannya.

Dengan perut kenyang dan hati yang puas, aku pun mengakhiri petualanganku di Solo. Soto Triwindu memberikan kenangan kuliner yang gak hanya memanjakan lidah, tapi juga menyambutku dengan hangat. Siapa sangka ya, sebuah mangkuk soto bisa jadi penutup yang sempurna untuk hari terakhirku di kota ini.
*) Solo 15 Januari 2025
*) Natasha Harris, Mahasiswi Pendidikan Bahasa Korea, UPI Bandung

