
Oleh: Umam
Dalam pekatnya malam di sudut kafe kecil yang merangkul aroma kopi dan riuh air hujan dari beranda kafe, aku membuka Norwegian Wood, novel Haruki Murakami yang telah lama menggoda imajinasiku. Suasana malam itu seperti bersahabat dengan halaman-halaman pertama buku iniāsebuah undangan untuk masuk ke dunia Toru Watanabe, di mana kehilangan dan kerinduan menjadi teman setia.
Aku membacanya dengan perlahan, dengan setiap kalimat seolah membisikkan cerita yang meresap ke dalam diri. Norwegian Wood bukan sekadar narasi tentang cinta, melainkan juga perjalanan emosional yang menyentuh sisi terdalam manusia. Murakami membawa kita menyelami hidup Toru Watanabe di Tokyo era 1960-an, sebuah kota yang penuh gejolak perubahan budaya, namun tetap menyisakan ruang sunyi bagi mereka yang mencari makna.

Membaca buku ini seperti menyusuri jalan setapak di tengah hutan yang lengang di tengah musim gugur, sepi dan dingin. Setiap langkah menuntunku pada ingatan akan rasa kehilangan dan cinta pertama. Aku teringat satu adegan yang sangat membekas: percakapan antara Toru dan Naoko di sanatorium, yang dibalut keheningan.
Bagaimana Murakami mampu menuliskan dialog penuh kejujuran dan kelembutan akan tetapi cukup menegangkan seperti itu? āApa yang terluka tidak pernah sepenuhnya sembuh,ā kata Naoko dalam salah satu percakapan mereka. Membaca dialog ini membuatku menahan napas, seolah aku sendiri ada di sana, duduk di samping mereka, mendengar helaan napas di antara jeda kata.
Di sela membaca, aku meletakkan buku di atas meja, menghirup kopi yang sudah mulai mendingin, dan memandang keluar. Lampu-lampu kafe berkilau seperti kenanganākadang indah, kadang memudar.
Norwegian Wood mengingatkanku pada perjalanan pribadi, mengenang orang-orang yang pernah singgah dan pergi dalam hidupku. Seperti saat Toru mengenang Naoko: āAku tak pernah melupakan Naoko. Bahkan saat aku mencium Midori, aku masih merasakan kehadiran Naoko di dalam diriku.ā Ada perasaan yang tidak bisa ku jelaskan ketika membaca adegan Reiko memainkan gitar, menyanyikan lagu yang membalut luka dengan melodi yaitu lagu Norwegian Wood dari The Beatles (ya judulnya sama dengan novel ini): āNorwegian Wood. I once had a girl, or should I say, she once had me.ā
Murakami menulis dengan cara yang aneh tapi aku menyukainya: ia tidak memberi jawaban atau resolusi sempurna. Norwegian Wood adalah tentang menerima bahwa beberapa luka dan kehilangan yang tidak ada penjelasannya akan tetap bersama kita, dan itulah yang membuat hidup terasa nyata. Seperti perjalanan ke kota asing, buku ini mengajak kita menikmati lanskap emosional tanpa harus memahami semuanya.

Aku menyelesaikan buku ini ketika para karyawan kafe mulai memainkan lagu sayonara. Suara hujan ringan mulai terdengar di luar, menciptakan harmoni sempurna dengan kesan yang ditinggalkan novel ini. Norwegian Wood adalah sebuah perjalananāmelintasi kenangan, kehilangan, dan pergulatan dengan diri sendiri.
Dan di sinilah aku, di kafe kecil ini, dengan cangkir kopi kosong, merasa seperti telah kembali dari perjalanan panjang yang sepi dan dingin seperti perjalanan di tengah hutan yang lengang dengan balutan angin dingin musim gugur.
Untuk kamu yang ingin membaca Norwegian Wood, temukan tempat yang tenang, mungkin di tepi jendela saat senja, atau di bawah selimut hangat di malam yang sunyi. Biarkan cerita ini meresap perlahan, seperti hujan yang mengetuk lembut atap rumah. Karena Norwegian Wood bukan hanya sebuah buku, melainkan sebuah pengalaman yang mengubah cara kita melihat cinta, kehilangan, dan kehidupan.


Tulisan yang sangat keren…Pengalaman membaca buku itu menjadi sangat personal, emosional, dan intim.