Oleh Yulistya Yoo

“Yang namanya mencari keadilan, akan selalu banyak air mata yang dialirkan.”

Itu adalah kalimat terakhir yang didengar Arum dari ayahnya sebelum panggilan telepon berakhir. Gadis itu melangkah memasuki gedung pengadilan dengan gentar. Matahari yang menumpahkan teriknya dengan begitu hebat pun, tak mampu menepis gigil yang menyambangi lutut Arum. Membuatnya harus beberapa kali berhenti untuk berjalan, menggenapkan keberanian.

Siang ini, Arum memaksa agar ayahnya memberi izin. Sebagai Mahasiswa Hukum yang sebentar lagi dihadapkan pada setumpuk lembaran skripsi, Arum perlu melihat secara langsung hal apa yang terjadi di dunia yang kelak akan menjadi pijakan kakinya. 

Ada sebuah kasus yang cukup menyita perhatian media satu bulan belakangan. Kasus yang membuat sebagian besar masyarakat dunia maya menghujat tumpulnya hukum di negeri ini untuk rakyat jelata. Yang tentu saja, hal itu berdampak pada mentalnya. Stigma negatif itu membuat Arum beberapa kali ingin menyerah.

Arum berdiri beberapa saat di depan salah satu ruang sidang, menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya bulat tekadnya untuk melangkah. Suasana muram menyambutnya.

Terdengar lantang suara jaksa membacakan tuntutan. Pengacara pembela duduk sambil memijat pelipis, merasa tak punya daya untuk bersuara. Telah habis kata yang terus dibantah. Di sampingnya, duduk seorang wanita tua bungkuk. Matanya mengalirkan tetes demi tetes bulir air. Menelan semua tuntutan tak masuk akal dari jaksa. Tepat di hadapannya terdapat sebuah papan persegi panjang bertuliskan “Terdakwa”.

“Persidangan konyol macam apa ini?” Seorang pria di samping Arum berkata geram.

“Hukum memang selalu tumpul ke bawah!” Pria yang lain menimpali.

Sekejap kemudian, hakim ketua mengangkat tangan. Memberi perintah kepada terdakwa untuk berdiri. “Silakan memberikan pernyataan sebelum keputusan dibacakan.”

Seseorang yang duduk di kursi terdakwa itu bangkit. Tubuhnya gemetar. Kepalanya terangkat perlahan menatap hakim yang mulia. Wajah lelah dan memelas penuh kepasrahan atas nasib yang hendak menimpa. Di belakangnya, pada kursi hadirin, pria berjas rapi duduk bersedekap. Dia sesumbar jika segala tuntutannya akan diaminkan oleh hakim. Bagi pria setengah baya itu, takada ampun untuk seorang pencuri. Tak peduli miskin ataupun lanjut usianya.

“Cucu saya kelaparan.” Adalah kalimat yang meluncur dari mulut wanita tua itu. “Saya khawatir anak kecil itu akan mati jika tidak juga mendapat makanan. Saya berjanji akan mengembalikan semangkuk padi itu. Saya akan mencari kayu bakar untuk dijual. Mungkin akan sedikit lama mengembalikannya. Tapi, saya akan berusaha. Saya berjanji akan berusaha, Pak Hakim. Tolonglah, tolonglah, Pak Hakim izinkan saya pulang. Cucu saya sendirian. Cucu saya akan sangat kasihan jika terus ditinggal sendirian.”

Hening. Semua kepala tertunduk mendengar ucapan sendu seorang nenek yang amat mengkhawatirkan cucunya. Tentu saja selain satu orang yang hatinya telah diuruk oleh kemewahan dunia. Bahkan semangkuk padi yang belum tentu bisa lumat menjadi beras pun dia perkarakan. Wanita tua bungkuk yang mengambil sedikit padi yang tercecer di ladangnya, serta-merta dilabeli pencuri. Digelandang menuju kantor polisi. Dituntut bak pelaku korupsi.

“Saya minta maaf.” Suara hakim ketua memecah hening. “Bagaimanapun keadaan terdakwa, pencurian tetaplah kejahatan. Perkara sidang, tetap harus sesuai prosedur hukum yang ada.”

Sang terdakwa memejamkan mata. Penyesalan itu menggelantung di benaknya. Andai tak gegabah masuk ke ladang orang. Andai permisi dulu sebelum mengais padi dari sisa gilingan yang tercecer di setapak jalan. Andai tega hati membujuk sang cucu untuk bertahan sedikit lebih lama kelaparan. Rasa sayang itu kini membuatnya terjerembab dalam hukuman.

“Dengan segala bukti yang ada. Juga tuntutan dari jaksa. Kami memutuskan, terdakwa akan dijatuhi hukuman ….” Hakim ketua menjeda ucapannya. Tenggorokannya seperti tersumbat gulungan benang. “Terdakwa dijatuhi hukuman dua tahun penjara atau denda tiga juta rupiah.”

Palu telah diketuk menjadi melodi paling menyayat untuk mengiringi lunglainya tubuh tua itu di atas kursi.

“Apa hukum sengaja dibuat untuk menjadikan rakyat kecil semakin tak berdaya?” Pria di sebelah Arum kembali berkata geram.

Pria di sebelahnya menaruh telunjuk di bibir, menyuruh temannya itu untuk diam segera. Menyaksikan sang hakim ketua yang tiba-tiba berdiri sambil melepas toganya.

“Saya pun menjatuhi hukuman pada semua yang ada dalam ruang sidang ini. Dengan sebuah dakwaan telah membiarkan seorang wanita tua miskin dan cucunya kelaparan. Masing-masing dari Anda sekalian harus membayar dua ratus ribu sekarang juga.”

Sang hakim lantas berdiri, mengambil penutup kepalanya yang diletakkan di meja. Dia turun dari singgasana tertinggi, berjalan menghampiri satu per satu hadirin yang ada. Tanpa paksaan, semua mengeluarkan lembaran uang dari dalam dompet, memasukkannya ke dalam penutup kepala sang hakim ketua. 

Usai mendatangi setiap kursi, hakim ketua melangkah perlahan ke hadapan terdakwa. Wanita tua itu mendongak dengan tangan terulur, menerima penutup kepala sang hakim yang berisi lembaran-lembaran uang.

“Seharusnya yang ada di dalam sini sudah lebih dari tiga juta. Gunakanlah untuk membayar denda, lantas segeralah pulang untuk menemui cucu Anda.”

Ruang sidang itu berubah bak segara air mata. Setiap tangan bergerak menyeka sudut mata, merasa lega. Tentu saja selain satu orang serakah yang tertunduk malu. Yang telah menukar semangkuk padi dengan terjungkalnya harga diri.

Hakim ketua meninggalkan ruangan diiringi beberapa suara tangis. Arum bergegas bangkit, mengejarnya. 

“Ayah.”

Hakim ketua berbalik, tersenyum menatap Arum yang beruraian air mata.

“Terima kasih sudah memintaku datang hari ini.” Arum berkata haru.

“Hukum itu harus tunanetra, Nak. Memberi keadilan pada siapa pun yang perlu mendapatkan.”

***

Tentang Penulis: Yulistya Yoo. Seorang peracik obat yang menyukai racikan diksi. Beberapa tulisannya pernah dimuat di media: GolAGong Kreatif, rahma.idbernas.id, dan Koran Merapi Jogja. Selain menulis novel cetak dan antologi, karya-karyanya pun bisa dibaca secara online di KBM APP, Kwikku, KLPK APP. Bisa disapa di akun Yulistya Yoo (Facebook) dan @yulistya_yoo (Instagram).

CERPEN SABTU Cukup 1000 – 1500 kata. Teknik menulis baru diperbolehkan, kritik sosial, plot point, absurd, realis, surealis, boleh. SARA dan pornografi dilarang. Redaksi menyediakan honor Rp. 200 ribu. Terbit setiap hari Sabtu. Sertakan foto diri, bio narasi singkat, nomor rekening bank, gambar atau 3-4 ilustrasi yang mendukung – boleh lukisan karya sendiri. Kirim ke email golagongkreatif@gmail.com dan gongtravelling@gmail.com dengan subjek Cerpen Sabtu.

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5