Oleh: Naufal Nabilludin

Minggu siang, 2 Februari 2025. Setelah menghabiskan waktu bersama anak-anak TBM Azzahra di Perpustakaan Lembah Hijau, aku berpamitan pada Mas Lalu Abdul Fatah dan keluarganya. Empat hari (29 Januari – 2 Februari 2025) di sini terasa begitu singkat. Terlalu banyak yang kudapat—cerita, ilmu, dan pertemuan dengan orang-orang baik. (Nanti akan kutulis ini secara terpisah.)

Awalnya, aku bilang ke Mas Lalu bahwa aku akan melanjutkan perjalanan ke Bali pada Senin pagi, 3 Februari 2025. Tapi saat menghitung ulang, aku keliru. Seharusnya, aku berangkat malam ini, 2 Februari, menyeberang dari Pelabuhan Lembar ke Padangbai, lalu lanjut ke Denpasar dan Kuta.

Ada satu hal yang membuatku harus pamit lebih awal, aku sudah membeli tiket kereta Yogyakarta–Jakarta dengan KA Madiun Jaya. Kereta ini baru beroperasi 1 Februari 2025, dan karena masih promo, aku dapat harga setengah dari tarif normal. Dari Rp350.000, aku hanya membayar Rp186.500, sudah termasuk asuransi. Karena tiket ini sudah di tangan, aku harus menyesuaikan seluruh jadwal perjalanan agar tidak perlu reschedule kereta.

Begitulah perjalanan—selalu ada hal-hal yang tak terduga, hal-hal di luar rencana awal. Karena itu, aku tidak terlalu kaku dengan rencanaku sendiri.

Seperti perjalananku ke Lombok ini, yang awalnya sederhana: satu minggu pengabdian bersama Sisi Indonesia, satu minggu eksplor Madura, Lombok, dan Bali.

Tapi Tuhan punya cara-Nya sendiri. Aku dipertemukan dengan orang-orang baik di sepanjang jalan. Sebelum berangkat ke Lombok, aku menginap tiga hari di rumah Fauzi. Setelah pengabdian di Sembalun selama seminggu, Hilmi mengajakku singgah di Mataram. Dua malam aku menginap di kosan kakak sepupunya. Dari Mataram, aku lanjut ke Lombok Timur, ke Perpustakaan Lembah Hijau. Niatnya hanya satu atau dua hari, tapi ternyata aku tinggal empat hari di sana.

Rencana yang semula tersusun rapi kini berubah, tapi justru di situlah keindahannya.

Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengatur sisa uang yang semakin menipis. Aku kembali memeriksa dompet dan menghitungnya dengan cermat.

Awalnya, aku ingin singgah di Bali selama tiga hari. Tapi dengan kondisi keuangan saat ini, rasanya berat di kantong. Sempat terlintas untuk menundanya, tapi aku tahu, kesempatan tak selalu datang dua kali. Dari Lombok, Bali hanya berjarak lima jam perjalanan laut. Jika tidak sekarang, entah kapan aku bisa ke sana lagi.

Ada opsi lain: sekadar menumpang lewat Bali dalam perjalanan pulang ke barat. Rutenya jelas—Lembar ke Padangbai, Padangbai ke Denpasar, Denpasar ke Gilimanuk, lalu ke Ketapang. Dari sana, aku bisa naik kereta ke Yogyakarta, sebelum akhirnya kembali ke Jakarta. Biayanya sekitar Rp500.000.

Tapi setelah kupikirkan lagi, itu tidak efisien. Terlalu mahal hanya untuk sekadar lewat. Bahkan, kapal dari Lembar langsung ke Surabaya lebih murah, hanya Rp250.000. Tinggal naik, tidur, lalu sampai.

Tapi, Bali tetap harus masuk dalam perjalanan ini. Aku akhirnya mengambil keputusan untuk singgah dua hari satu malam di sana. Aku yakin, rezeki akan datang dalam berbagai bentuk—tumpangan gratis, makanan yang dibayarkan teman baru, atau sekadar keberuntungan kecil di jalan.

Aku membuka buku lukis yang kudapat dari acara tukar kado perpisahan pengabdian. Di sana, aku mulai menyusun itinerary dengan budget backpacker—murah, efisien, tapi tetap menyenangkan. Aku memilih destinasi yang tak hanya ramah di kantong, tapi juga memberi pengalaman berharga.

Malam ini, aku akan berlayar kurang lebih lima jam dari Pelabuhan Lembar ke Pelabuhan Padangbai. Aku memilih keberangkatan pukul 22.30 WITA dan akan tiba di Bali Senin, 3 Februari 2025, sekitar pukul 04.00 WITA.

Sengaja memilih perjalanan malam supaya tidak perlu membayar uang penginapan. Maklum, budget backpacker.

Perjalanan ini terus mengajarkanku satu hal: rencana boleh berubah, tapi langkah tak boleh terhenti.

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5