Tadi pagi sarapan di Dapur Sunda, Jalan Yusuf Martadilaga (Yumaga). Lokasinya persis di tikungan (sering kami sebvut corner) persis kantor DPU (Departemen Pekerjaan Umum). Nah, di depan Dapur Sunda itu ada rumah tua, khas kolonial. Itu rumah Wak Syamsi – neneknya Edi Aryadi (pernah jadi Wali Kota Cilegon) dan Maman Mauluddin (Sekda Cilegon).

Sewaktu kecil, kalau lebaran di era 1970-an, anak-anak Komplek Guru yang persis di belakang rumahnya – saya anak guru, antre menerima persenan uang seratusan (uang kertas warna merah). Pada 1974, tangan kiri saya patah dan harus dibawa ke CBZ (RS Cipto Sekarang). Wak Syamsi meminjamkan mobil VW Kodoknya.

Setelah remaja, era 1980-an, di pintu gerbang rumahnya, kami nongkrong hampir setiap sore selepas Ashar. Menggoda gadis-gadis yang lewat. Jl. Yumaga ibarat cat walk. Orang-orang, terutama cewek-cewek ABG, pasti melintas di Jl. Yumaga. Kalau Jakarta, ini ibarat kawasan Menteng. Kalau Bandung, ya sekelas Dago. Kemudian tempat itu dikenal dengan sebutan Yumaga Corner. Anak-anak muda merasa bangga kalau bisa gaul dan nongkrong di Yumaga Corner, karena bisa terbawa kreatif.

Keunikan Jl. Yumaga saya pindahkan ke novel Balada Si Roy. Tokoh Roy sering nongkrong di sini. Jl. Yumaga sekarang padat oleh penjual es, bakso, mie, kopi, bahkan durian hingga ke trotoar. Tapi sekarang tidak lagi saya temukan anak-anak muda kreatif nongkrong di jalanan. Mungkin di era saya remaja belum ada cafe dan gadget serta internet. Di era saya, semuanya memilih nongkrong di ruang terbuka.

Gol A Gong

Please follow and like us:
error69
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia