
Oleh: Naufal Nabilludin
Perjalanan selalu memberikan saya perspektif baru. Dari Madura, Lombok, hingga Bali, saya menemukan satu benang merah yang menghubungkan semuanya: keberadaan tempat ibadah yang begitu lekat dalam kehidupan masyarakatnya.
Di Madura, hampir setiap rumah memiliki langgar atau musholla pribadi, tempat di mana doa-doa dipanjatkan dalam keheningan keluarga. Lombok dikenal sebagai “Pulau Seribu Masjid,” di mana kubah-kubah menjulang di hampir setiap sudut, menjadi saksi keteguhan spiritual warganya. Sementara itu, Bali, dengan julukannya sebagai “Pulau Seribu Pura,” menghadirkan nuansa spiritual yang menyatu dengan alam dan budaya.


Dari satu daerah ke daerah lain, dari satu pulau ke pulau lainnya, saya menyadari bahwa Indonesia tidak hanya kaya akan alam dan budaya, tetapi juga spiritualitas yang begitu mendalam. Keberagaman ini bukan sekadar kebetulan, melainkan bagian dari identitas yang telah mengakar sejak lama.
Indonesia: Sebuah Mukjizat
Sejarawan dan cendekiawan muslim Prof. Azyumardi Azra pernah berkata, “Indonesia is a miracle.” Indonesia adalah sebuah mukjizat—sebuah negara yang begitu kompleks dalam keberagamannya, namun tetap bertahan sebagai satu kesatuan.

Dalam bukunya Asa Indonesia, Prof. Azra beberapa kali mengutip pemikiran J.S. Furnivall dalam Netherlands East Indies: A Study of Plural Economy (1944). Furnivall meramalkan bahwa setelah Belanda angkat kaki dari Nusantara, Indonesia akan hancur berkeping-keping. Menurutnya, pluralitas yang begitu besar akan sulit dipersatukan karena tidak ada satu faktor pun yang cukup kuat untuk menjadi perekat.
Namun kenyataan berbicara lain. Indonesia tetap tegak, memasuki usia hampir 80 tahun dengan segala dinamikanya. Perbedaan yang dulu diramalkan sebagai ancaman justru menjadi kekuatan. Perjalanan sejarah membuktikan bahwa meski beragam, kita memiliki sesuatu yang lebih besar dari sekadar identitas suku, agama, atau budaya—yaitu semangat kebersamaan dan toleransi yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Menjaga Keberagaman, Merawat Toleransi

Mengunjungi Madura, Lombok, dan Bali membuat saya semakin yakin bahwa keberagaman ini bukan sekadar data statistik atau narasi dalam buku sejarah. Ia nyata, terasa dalam kehidupan sehari-hari, dalam cara masyarakatnya hidup berdampingan, dan dalam bagaimana tempat-tempat ibadah berdiri sebagai simbol kedamaian.
Namun, keberagaman ini harus dijaga, dirawat, dan terus diperjuangkan. Toleransi bukan sekadar slogan, tetapi praktik nyata yang harus diwujudkan dalam interaksi kita sehari-hari. Menghargai perbedaan bukan hanya tentang menerima keberadaan orang lain, tetapi juga tentang memahami, berempati, dan berusaha membangun jembatan antara satu dengan yang lain.

Seperti halnya tempat-tempat ibadah yang saya temui di Madura, Lombok, dan Bali, yang berdiri teguh sebagai tempat berdoa, semoga Indonesia juga tetap teguh sebagai rumah bagi keberagaman. Sebab, sebagaimana mukjizat yang telah bertahan selama ini, keajaiban Indonesia ada di tangan kita semua.

