Sering kali orang-orang menilai sesuatu hanya berdasarkan penampilan luar atau sampulnya saja, tanpa berusaha memahami isi atau maknanya secara lebih mendalam. Ada sebuah peribahasa yang populer di dunia, yaitu “Don’t judge a book by its cover”, yang sangat relevan ketika kita melihat judul novel ini, Perpustakaan Kelamin.
Judul tersebut mungkin memantik pikiran kita bahwa buku ini membahas hal-hal yang berbau seks atau menggambarkan perpustakaan yang dipenuhi buku-buku tentang kelamin. Namun, anggapan itu muncul jika kita hanya melihat sampul atau judulnya tanpa mencoba memahami isinya yang sebenarnya.
Membaca buku ini seperti membuka gerbang khazanah keilmuan kita. Di dalamnya tersaji begitu banyak referensi buku, baik dari karya nasional maupun internasional, serta kisah-kisah menarik tentang para pecinta buku sejati—mereka yang begitu terobsesi dengan dunia literasi, rela mengorbankan waktu demi mengejar ilmu dan memperkaya wawasan.
Buku ini mengisahkan tokoh bernama Hariang, yang tinggal bersama ibunya, Syajaratul Ilmi—seorang penggiat literasi—di Desa Cigéndél, Sumedang, Jawa Barat. Kisah sang ibu dalam memperkenalkan buku terbilang unik.
Ia merahasiakan sebuah ruangan di depan rumah tanpa menjelaskan apa yang ada di dalamnya. Hingga akhirnya, setelah hampir dua dasawarsa, rahasia itu pun terungkap. Saat pintu dibuka, ternyata ruangan tersebut adalah sebuah perpustakaan. Hariang sangat terkejut melihat dinding-dinding yang dipenuhi ribuan buku yang tersusun rapi, siap untuk dijelajahi.
Merahasiakan isi ruangan ini darimu adalah rencana ibu. Alasan ibu sederhana: biar kamu terus bertanya, merindukannya, lalu jatuh cinta pada apa yang ibu rahasiakan itu setelah kamu mengetahuinya. Ibu hanya ingin kamu jatuh cinta pada buku, menganggapnya sebagai benda yang istimewa. Perpustakaan ini ibu niatkan tidak hanya untuk kamu, tapi juga untuk masyarakat Cigéndél. Bantu ibu agar banyak tetangga kita yang mau membaca di sini, terutama anak-anak. Buku bukan hanya milik mereka yang mengaku dirinya terpelajar, tapi milik semua orang yang ingin menatap makna melalui aksara.
Hal 9
Menurut saya, Perpustakaan Kelamin merupakan bentuk metafiksi yang menghadirkan dunia bacaan di dalam dunia bacaan itu sendiri. Penulis mengajak kita menyelami berbagai kisah, seperti sejarah kertas yang ditemukan oleh Tsai Lun dan mesin cetak yang ditemukan oleh Johannes Gutenberg.
Ada juga kisah Napoleon Bonaparte tentang kegilaannya dalam membaca di tengah kesibukannya berperang, serta diskusi barudak PAKU mengenai Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Báez. Selain itu, buku ini juga membahas istilah-istilah untuk para penggandrung buku yang pernah dimuat dalam Memposisikan Buku di Era Cyberspace karya Putut Widjanarko, seperti bibliomania, bookworm, bibliophile, bibliotaph, bibliognost, dan lain-lain.
Sebagai seseorang yang belum terlalu banyak mengoleksi buku, saya merasa sangat terbantu dengan adanya novel ini karena menemukan berbagai judul menarik yang secara halus direkomendasikan oleh penulis.
Buku ini tidak hanya membuka mata saya terhadap karya-karya lain yang patut dijelajahi, tetapi juga memberikan pemahaman yang lebih luas mengenai beragam perspektif dalam kehidupan.
Selain melalui percakapan Hariang dengan ibunya, khazanah keilmuan dalam Perpustakaan Kelamin juga terasa sangat kental melalui komunitas PAKU (Pasukan Anti Kuliah), yang beranggotakan orang-orang yang drop out karena tidak adanya biaya atau karena kecewa dengan sistem pendidikan di Indonesia. Namun, jangan salah.
Meskipun mereka tidak kuliah, wawasan mereka tidak kalah dengan orang-orang yang berpendidikan tinggi. Kegiatan dalam komunitas ini terbilang sederhana tetapi bermakna: berdiskusi tentang buku dan membasuh kaki orang tua.
Dalam novel ini, terdapat bab khusus yang membahas komunitas Pasukan Anti Kuliah, yang juga mengulas soal pelarangan buku, baik di dunia maupun di Indonesia. Bahkan, di halaman terakhir buku ini, terdapat daftar buku yang pernah dilarang di Indonesia antara tahun 1968 hingga 1998.
Penulis tidak hanya menyuguhi pembaca dengan kisah yang klise atau dialog yang biasa-biasa saja, tetapi lebih dari itu, kita diajak untuk mencintai membaca, berpikir kritis, serta mengamati realitas-realitas kecil di sekitar kita—yang ternyata dapat dijelaskan dengan kedalaman ilmu pengetahuan yang sangat luas.
Buku ini sangat pas untuk para penggiat literasi, pecinta buku, serta mereka yang menyadari pentingnya peran buku dalam peradaban dunia. Tentunya, pembaca akan merasakan kepuasan mendalam serta pemahaman yang lebih luas setelah membaca novel ini.
Buku adalah peradaban tertinggi umat manusia. Peradaban kita adalah peradaban buku.”
Hal 8
Tentang Penulis:
Lupi Padziah merupakan seorang guru TK di Purwakarta yang mencintai buku.