Puisi Gol A Gong
RAMBU LALULINTAS

1.
Pagi ini kau sudah langsung belok kiri. Senyumku diganti kampanye walikota. Kau berebut trotoar dengan pedagang kaki lima. Harapanmu menerobos perempatan jalan. Pak polisi akan menghitung isi sakumu.

2.
Tanda ā€œSā€ disilang, telah kau pindahkan ketika malaikat tertidur. Pengusaha berebut makan dengan pengemis. Kau tahu, tak boleh berbohong di belokan itu. Akibatnya Tuhan tak mau datang ke kota kita. Kiai pun enggan mendoakan.

3.
Kau harus antri beli tiket. Dilarang mendahului orang tua. KTP-mu memalsukan kejujuran. Lihat, hatimu ada di tong sampah. Di sana tidak boleh berbuat mesum. Kau memilih berdamai di gedung dewan. Rambu-rambu kau bongkar, berganti dengan perempuan jalanan.

4.
Tak ada lagi yang perlu ditutupi. Surat tilang sudah dibakar. Kota kita tak memiliki jenis kelamin.

*) Serang, 11/1/2016

Puisi “Rambu Lalu Lintas” karya Gol A Gong adalah sebuah kritik sosial yang menyindir keadaan moral dan sosial di masyarakat melalui simbol rambu-rambu lalu lintas.

Analisis Puisi

  1. Stanza 1:
    • Menggambarkan ketidaktertiban dalam kehidupan sehari-hari, di mana orang tidak menaati aturan lalu lintas dan menggantinya dengan kepentingan pribadi atau politik (kampanye walikota).
    • Trotoar yang seharusnya untuk pejalan kaki justru dikuasai pedagang, melambangkan perebutan ruang oleh berbagai kepentingan.
    • Ada sindiran terhadap aparat hukum yang mungkin lebih peduli pada “isi saku” (suap) daripada ketertiban.
  2. Stanza 2:
    • Rambu ā€œSā€ (mungkin merujuk pada larangan parkir) dipindahkan secara sembunyi-sembunyi, menunjukkan bagaimana aturan bisa dimanipulasi.
    • Ada ironi bahwa pengusaha dan pengemis sama-sama berebut makan, mencerminkan ketimpangan ekonomi.
    • Kota kehilangan keberkahan karena kejujuran telah hilang, bahkan kiai enggan mendoakan, menyiratkan kehancuran moral.
  3. Stanza 3:
    • Mengangkat tema kejujuran dan birokrasi yang korup.
    • Orang yang seharusnya antri malah curang, KTP dipalsukan, dan kejujuran terbuang di “tong sampah”.
    • Kritik terhadap anggota dewan yang lebih sibuk dengan kesenangan duniawi daripada memperbaiki aturan yang rusak.
  4. Stanza 4:
    • Semua aturan dan norma sudah tidak berarti lagi. Surat tilang dibakar, sebagai metafora hukum yang tidak lagi ditegakkan.
    • Kota kehilangan “jenis kelamin”, mungkin melambangkan kehilangan identitas, nilai, dan moral yang seharusnya membentuk karakter sebuah tempat.

Kesimpulan

Puisi ini menyajikan kritik sosial yang tajam dengan metafora lalu lintas dan kota sebagai cerminan masyarakat yang kacau dan korup. Melalui gambaran ketidaktertiban, korupsi, dan kemunafikan, puisi ini mempertanyakan ke mana arah kota dan masyarakat yang kehilangan nilai moralnya.

Apa pendapatmu tentang puisi ini? Apakah ada bagian yang menarik perhatianmu?

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5