
Oleh Gabriel Firmansyah Harris
Jumat, 24 Januari 2025, pukul 5.26 sore. Saya dan istri berjalan kaki menuju Mangrove Park Abu Dhabi, hanya sepuluh menit dari tempat tinggal kami. Perjalanan dimulai dengan melintasi jembatan penyebrangan di atas highway 10 jalur—lima jalur di setiap arahnya. Dari atas jembatan, pemandangan terbuka luas, memperlihatkan hamparan hijau Mangrove Park, boardwalk yang membentang panjang, serta jalur khusus untuk skuter elektrik dan sepeda. Langit sore mulai berubah warna, memancarkan cahaya lembut yang membalut kota.
Turun dari jembatan, kami disambut oleh seekor kucing yang melintas, seolah menyapa sebelum kami memasuki taman. Udara akhir Januari terasa pas—tidak terlalu dingin karena musim dingin baru saja berlalu, namun tetap ada angin sejuk yang sesekali berhembus. Matahari yang perlahan turun memberikan rasa hangat di kulit, menciptakan kontras yang nyaman antara kehangatan dan kesejukan sore hari.

Saat melangkah lebih jauh, suasana semakin hidup. Kicauan burung terdengar cukup jelas, berpadu dengan suara langkah kaki para pengunjung serta roda skuter elektrik yang sesekali melintas. Beberapa orang berbicara dalam bahasa Arab, terdengar akrab dan penuh tawa. Udara di sekitar dipenuhi dengan aroma khas—kadang tercium bau barbeque dari keluarga yang sedang piknik, lalu berganti dengan wangi kopi Arab dan teh karak dari kafe-kafe di sepanjang jalan.
Mangrove Park Abu Dhabi bukan hanya sekadar taman biasa, tetapi juga kawasan konservasi yang dirancang untuk melindungi ekosistem bakau. Pohon bakau di sini berperan penting dalam menyaring air laut, mengurangi erosi, serta menjadi rumah bagi berbagai jenis burung dan biota laut. Cahaya senja yang keemasan memantul di daun-daun mangrove yang rimbun, menciptakan pemandangan yang begitu damai dan menenangkan.
Bagi mereka yang ingin pengalaman lebih dekat dengan alam, Mangrove Park juga menawarkan wisata kayak, memungkinkan pengunjung menjelajahi hutan bakau dari perspektif yang berbeda. Namun, taman yang kami kunjungi hari ini adalah sisi timur Mangrove Park, yang lebih terbuka dan didesain untuk berjalan kaki, bersepeda, atau bersantai di sekitar boardwalk.
Di sepanjang perjalanan, ada banyak hal menarik yang membuat sore ini terasa istimewa. Keluarga-keluarga kecil berjalan santai dengan anak di stroller, sekumpulan ibu-ibu duduk melingkar di atas kursi lipat, seorang ayah dan anak bermain layangan, dan di sisi lain, beberapa orang sibuk memancing di tepi air. Ada juga sekumpulan pemuda bermain basket di lapangan terbuka, sementara anak-anak kecil berlarian di rerumputan, tertawa lepas menikmati sore mereka.
Semakin berjalan ke dalam, kami melihat beberapa kafe mobil trailer yang menjajakan makanan dan minuman. Salah satu yang paling ramai adalah kafe khusus yang menjual teh karak dan kopi Arab, dipenuhi oleh penduduk lokal yang menghabiskan waktu sore dengan menikmati minuman hangat dan berbincang santai. Jika ingin menjelajahi area ini tanpa lelah, ada pilihan lain—skuter elektrik yang bisa disewa melalui aplikasi, memberikan pengalaman yang lebih fleksibel dan seru.

Berjalan bersama di tempat ini terasa begitu menyenangkan. Sambil berbincang tanpa tergesa-gesa, kami menikmati angin sore, melihat interaksi orang-orang, dan merasakan kedamaian di tengah hiruk-pikuk kota.
Saat akhirnya mencapai ujung jalur, satu hal yang terasa pasti: sore hari di akhir Januari hingga Februari adalah waktu terbaik untuk berada di sini. Udara yang nyaman, pemandangan yang menenangkan, dan suasana yang penuh kebersamaan membuat tempat ini cocok untuk siapa saja—keluarga, pasangan, atau mereka yang ingin menikmati ketenangan sendirian.
Perjalanan sore ini mungkin berakhir di Mangrove Park, tapi Abu Dhabi masih punya banyak cerita lain untuk diceritakan. Sampai jumpa di kisah berikutnya, di tempat lain di Abu Dhabi!
*) Gabriel Firmansyah Harris, Mahasiswa S2 Mohamed Bin Zayed University for Humanities Abu Dhabi

