
Oleh: Muhzen Den
Fungsi kata rujak dan merujak tidak hanya diintentikkan dengan subjek orang yang sedang makan rujak. Tetapi, kata rujak atau merujak sudah difungsikan untuk hal yang menyudutkan, mengkritik, menghina, menghujat, dan ungkapan kasar lainnya.
Kenapa merujak sudah tak lagi sesuai dengan fungsi dan tempatnya? Karena bahasa lagi-lagi lahir berdasarkan kesepakatan bersifat manasuka atau arbiter. Produk bahasa berupa kata-kata yang keluar dari oral ini dijadikan pesan untuk saling berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain.
Makanya, dunia digital terutama media sosial menempatkan kosakata rujak, merujak, atau dirujak sebagai cara melampiaskan ketidaksukaan, ketidaksetujuan, dan kekesalan kepada oknum objek yang tidak sepehaman. Hanya karena salah kata atau lisan, salah satu figur ternama ‘dirujak’ warganet.
Selain itu, terkadang di kolom komentar media sosial, para warganet sudah siap ‘merujak’ salah satu akun anonim yang salah menuliskan status di beranda media sosialnya. Berbagai cara warganet menjadikan kosakata rujak, merujak, atau dirujak sebagai alat untuk melancarkan serangan terhadap oknum objek yang salah.
Bisa juga warganet memenuhi kolom komentar pada akun media digital di media sosial untuk memviralkan berita, video, dan foto oknum yang sewenang-wenang terhadap aturan hukum. Atau istilahnya ‘no viral, no justice!” Untuk hal ini penulis setuju karena bagian dari solidaritas antarwarga negara yang berharap hukum harus adil untuk semua orang.
Namun, jika merujuk KBBI bahwa kosakata rujak (sebagai kata dasar) memiliki makna makanan yang dibuat dari buah-buahan kadang-kadang disertai sayuran yang diiris (ditumbuk dan sebagainya), kemudian diberi bumbu yang terdiri dari asam, gula, garam, cabai dan lainnya. Sementara merujak memiliki makna memakan rujak.
Biasanya, orang yang tengah pusing kepala karena situasi cuaca panas atau kondisi lainnya, mereka akan membuat rujak untuk meredakan sakit kepala tersebut. Namun, jika ditelurusi berdasarkan laman klikdokter.com bahwa bukan karena merujaknya buat kepala reda, tapi rasa pedas atau panas ditimbulkan oleh sambal cabai di sekitar lidah menarik respon saraf otak. Rangsangan pedas ini yang mengeluarkan zat kimia seperti adrenalin dan endorfin.
Dua zat ini menyebabkan pusing di kepala mereda bukan karena rujaknya. Selain itu, mengonsumsi makanan pedas juga kurang baik untuk tubuh. Jika sakit kepala kita harus melakukan istirahat dan minum obat.
“Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya cukup istirahat, mengonsumsi obat antinyeri seperti ibuprofen atau paracetamol, minum cukup air putih, kompres hangat, dan pijatan lembut,” kata dokter Devia.
Nah, kembali pada kosakata rujak atau merujak yang fungsinya mulai dialihkan untuk objek lain–tidak hanya sebagai bahan makanan buah-buahan yang dicocol sambal–oleh warganet dijadikan alat untuk menghujat, menyudutkan, mengkritik, dan lainnya di arena media sosial.
Sungguh enak benar kita sebagai pengguna bahasa bisa dengan bebas menempatkan kosakata pada fungsi yang bukan tempatnya. Jika kurang-kurang paham, kita akan juga terkena imbas ‘dirujak, merujak, dan rujak’ hanya karena ketidaksengajaan atau disengaja di dunia media sosial. Makanya, kita harus tetap selalu menjunjung bijak dalam mengelola kata atau wawasan di dunia digital ini. Terima kasih.

