Pool DAMRI Mataram

Oleh: Naufal Nabilludin

Saat bepergian ke Lombok dan Bali, saya menyadari bahwa sesuatu yang selama ini saya anggap biasa ternyata adalah sebuah kemewahan: transportasi umum yang mudah dan murah. Di Pulau Jawa, naik kereta atau bus antarkota bukanlah hal yang sulit. Tetapi di luar Jawa, urusan transportasi bisa menjadi tantangan tersendiri.

Di Lombok, misalnya. Pilihan transportasi umum sangat terbatas. Damri menjadi andalan saya untuk berpindah tempat, tetapi jadwalnya tidak setiap saat. Kadang harus menunggu lama, kadang harus mencari alternatif yang lebih mahal, seperti ojek, travel atau rental mobil.

Saya pernah berangkat naik Damri dari Lombok Timur menuju Kota Mataram. Dari sana, saya ingin melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Lembar, tetapi tidak ada transportasi umum lain selain ojek.

Damri menuju Lembar sudah tidak beroperasi setelah pukul tiga sore. Saya sempat bertanya kepada beberapa teman dan juga sopir Damri mengenai alternatif transportasi lain, tetapi jawabannya sama: tidak ada. Satu-satunya pilihan hanyalah ojek, yang tentu saja tidak selalu ramah di kantong, terutama bagi backpacker dengan anggaran terbatas seperti saya.

Bali pun tak jauh berbeda. Sebagai destinasi wisata kelas dunia, saya sempat berpikir bahwa transportasi umum di sini akan lebih baik. Namun, kenyataannya tidak demikian. Bus Trans Dewata, yang sebelumnya diharapkan menjadi solusi mobilitas, justru berhenti beroperasi sejak 1 Januari 2025. Saya tidak tahu pasti alasannya, tetapi mengingat begitu banyak turis datang ke Bali setiap hari, hal ini terasa cukup ironis.

Jalanan di Bali, terutama di pusat kota dan kawasan wisata, sering kali macet parah. Mobilitas wisatawan seperti saya pun ikut terhambat.

Selama di Bali, saya mengandalkan ojek online, yang meskipun praktis, kurang cocok untuk saya yang berlibur dengan anggaran terbatas. Saya sebenarnya ingin mengunjungi lebih banyak tempat wisata, tetapi setelah menghitung biaya transportasi, saya harus menyesuaikan kembali rencana perjalanan agar tidak melebihi budget.

Ketika hendak pulang dari Denpasar ke Jawa melalui Pelabuhan Gilimanuk, saya mendapati bahwa pilihan transportasi umum juga terbatas. Informasi yang saya dapat hanya menyebutkan Bus Sehati sebagai satu-satunya opsi dengan harga Rp60.000–Rp70.000.

Mungkin ada transportasi lain, tetapi jumlahnya sangat terbatas. Bahkan Bus Sehati pun memiliki jadwal keberangkatan tertentu, tidak setiap jam, sehingga saya harus benar-benar menyesuaikan waktu perjalanan agar tidak tertinggal.

Sebaliknya, di Pulau Jawa, transportasi terasa jauh lebih mudah dan murah. Berbagai moda transportasi saling terkoneksi dengan baik.

Misalnya di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Begitu turun dari kapal, kita hanya perlu berjalan kaki beberapa menit untuk mencapai Stasiun Ketapang, stasiun kereta api paling timur di Pulau Jawa. Begitu pula di stasiun paling barat, yang langsung terhubung dengan pelabuhan, memudahkan perjalanan tanpa perlu berpikir panjang mencari transportasi tambahan.

Bus antarkota tersedia hampir sepanjang hari, dan di dalam kota, moda transportasi umum semakin berkembang. TransJakarta, BRT (Bus Rapid Transit), MRT, dan Commuter Line menjadi pilihan yang memudahkan mobilitas.

Hampir semua kota besar di Jawa sudah memiliki sistem BRT, seperti Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan kota lainnya. Hanya Kota Serang yang hingga kini masih belum memiliki layanan serupa.

Perjalanan ini membuka mata saya terhadap dua hal. Pertama, bahwa tantangan transportasi di luar Jawa masih nyata dan butuh perhatian lebih. Kedua, bahwa kita yang tinggal di Jawa seharusnya lebih bersyukur dengan sistem transportasi yang sudah cukup memadai.

Jadi, jika suatu saat kamu bepergian ke luar Jawa, siapkan rencana perjalanan dengan lebih matang. Dan ketika kembali ke rumah, jangan lupa menghargai sesuatu yang sering kita anggap biasa: kemudahan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa harus berpikir terlalu keras.

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5