
Oleh: Naufal Nabilludin
Ntah bagaimana Tuhan menjawab doa-doaku. Selalu istimewa, selalu tak terduga. Dia membukakan mataku untuk melihat ciptaan-Nya, keindahan yang tak hanya menggetarkan hati, tetapi juga mengingatkanku akan kebesaran-Nya.
Sembalun, sebuah lembah yang bernafas dalam sejuknya angin pegunungan, terhampar luas di kaki Rinjani. Di sini, langit terasa lebih dekat, udara lebih jernih, dan setiap sudut alam seperti melantunkan doa tanpa suara. Aku berdiri di antara perbukitan yang menjulang, memandang ladang-ladang hijau yang membentang hingga cakrawala. Setiap hembusan angin membawa ketenangan, seolah membisikkan bahwa aku hanyalah tamu di dunia ini.

Di kejauhan, Rinjani berdiri gagah, memanggil jiwa-jiwa petualang untuk menapaki jalurnya yang penuh tantangan. Gunung ini bukan sekadar tumpukan batu dan tanah, tetapi sebuah perjalanan spiritual, menguji raga sekaligus mengajarkan kerendahan hati. Setiap langkah menuju puncaknya adalah zikir panjang—lelah, dingin, dan nyeri berpadu dengan decak kagum akan keindahan yang terbentang di depan mata.

Aku bertanya pada diriku sendiri: ini dunia atau surga? Saat itu, aku benar-benar merasa kecil, dan hanya ada satu yang Maha Abadi: Dia, Sang Pencipta.

Sembalun dan Rinjani bukan sekadar destinasi. Mereka adalah pengingat, bahwa di balik segala hiruk-pikuk dunia, ada tempat di mana manusia bisa berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, dan mengingat siapa dirinya di hadapan semesta.
Hanya tamu yang akan kembali pulang.

