Oleh Lasman Simanjuntak

Jika literasi hanya dianggap kemampuan baca dan tulis saja, maka dunia literasi hanya sampai situ. Sementara bagaimana dengan pemahaman. Ya, pemahaman jangan dihubungkan dengan tindak literasi seperti itu tadi, tetapi harus diimbuhi dengan tindak berpikir kritis, sehingga dalam berliterasi (baca-tulis-red), si subjek tidak hanya menelan apa pun informasi yang disodorkan suatu wacana/bacaan, tetapi juga memahaminya dengan kritis.

Bahasa Alat Kekuasaan

“Dengan kata lain, si subjek, selain berliterasi, juga mampu mengontruksi bacaannya itu, sehingga tidak menjadi korban kekuasaan dari si penyaji bacaan, karena pada dasarnya literasi, bacaan atau bahasa adalah alat kekuasaan demi menguasai orang lain,” ujar Prof.Dr.Wahyu Wibowo, Dosen Mata Kuliah Filsafat Bahasa di Fakultas Sastra & Bahasa Universitas Nasional (UNAS) Jakarta dalam suatu wawancara khusus di Jakarta, Minggu pagi (16/2/2025)

“Jika sudah terkuasai bahasa, maka orang akan menjadi yakin dan percaya, yang kemudian memunculkan ideologi tertentu. Di sinilah letak bahaya, jika hanya pandai berliterasi, namun tidak piawai berpikir kritis,” katanya lagi.

Menurut Doktor ilmu filsafat UGM Yogjakarata ini, dulu, siswa kita dicekoki gurunya bahwa tema karya sastra Angkatan Balai Pustaka, misalnya, adalah kawin paksa. “Itu kan kata peneliti sastra asing. Lalu, pernahkah guru kita meneliti karya-karya sastra Angkatan Balai Pustaka? Benarkah sebutan “tema kawin paksa’ itu? Padahal, kalau kita membaca roman ‘Sitti Nurbaja”, misalnya, benarkah roman itu bertemakan kawin paksa?” tanyanya.

Oleh karena itu, peran Kementerian Kebudayaan RI dalam konteks ini, amat strategis dalam memajukan kebudayaan bangsa yang sebenar-benarnya, bukan hanya mencatat hasil budaya kita (apalagi yang kelihatan saja), lalu berbangga hati.

“Berpikir kritis sebagaimana disebutkan itu, memang beriringan dengan aspek intelektualitas. Jika kita beranggapan bahwa intelektualitas adalah pondasi berpikir kritis, maka bangsa dan negara yg maju menjadikan berpikir kriitis sebagai landasan mensejahterakan rakyat dalam pelbagai aspek kehidupannya,” ujar Sastrawan Indonesia Angkatan 2000 ini.

Di Korsel, sebagai contoh, pemerintahnya amat mendukung penelitian yang dilakukan oleh para penelitinya, dalam bidang sastra, seni, maupun kebudayaan. Dengan dana besar dan dengan waktu yang relatif lama, para penelitinya dengan amat tekun -dan dengan ganjaran honor besar-pada suatu ketika berhasil menciptakan drakor-drakor Korea yang lalu viral di seluruh dunia, yang di Indonesia juga digemari emak-emak, bukan?

“Viral semacam itulah yang menandakan betapa maju ekonomi kreatif di negara tersebut. Hal ini bukankah dapat menjadi inspirasi di Indonesia bahwa kerja seni dan budaya bukan hanya soal idealisme belaka, melainkan juga mengangkat dunia ekonomi kreatif. Apalagi, bukankah kita punya Kementerian Kebudayaan RI ,” ucap bapak dua orang puteri yang lahir di kawasan Kemayoran, Jakarta 8 Maret 1957 ini.

Teknologi Jangan Didewakan

Menjawab pertanyaan tentang kemajuan teknologi komunikasi saat ini dikaitkan dengan teknologi kecerdasan buatan (AI), Prof.Dr.Wahyu Wibowo menjawab bahwa hal ini bukanlah momok yang harus ditakuti, atau bukanlah dewa yang harus didewakan.

“Dengan mendewakan semacam itu maka kita pun akan jatuh pada simulakra yang berujung pada semacam hiper-realitas, yang seolah memperlihatkan ada suatu kebenaran, padahal itu semu belaka,” kilahnya.

Oleh karena itu kemunculan dan perkembangan sastra digital- terkait dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) pada prinsipnya hendaknya hanya sebagai alat percepatan penyebaran, karena memang begitu hakikat teknologi digital, yaitu ekonomi waktu.

Kecerdasan buatan, dalam hal ini hanyalah sesuatu yg bisa saja sebuah “kopi” dari sesuatu yang lain, yang ketika diciptakan menisbikan masalah estetika. Tidak mengherankan jika berabad yang lalu, Plato sempat menyadarkan kita bahwa “ars imitatur naturam” atau hasil tiruan dari alam dan segala sesuatu yang ada di dalamnya.

Pada bagian lain Prof. Dr. Wahyu Wibowo yang telah menulis 50 judul buku (kumpulan puisi, cerpen, novel, karya ilmiah dan jurnalistik) ini menhatakan lagi berbeda dari masa kejayaan Kerajaan nusantara, pada masa itu sastrawan adalah bagian integral dari kerajaan sehingga dijadikan pegawai kerajaan (lengkap dengan pangkat/gelar dan segala fasilitas hidup). Kerja mereka hanyalah mencipta yang ciptaan mereka kemudian diatasnamakan raja.

Ketika zaman itu sudah surut, maka sastrawan menjadi pribadi yang otonom, yang seringkali dianggap profesi yang menghasilkan. ” Itu sebabnya, mereka kini tidak lagi menjadi perhatian pemerintah, sehingga sebagai pribadi otonom mereka harus membiayai apa-apa sendiri. Mereka harus mencari sponsor sendiri,” ucapnya.

Ditanya lagi apakah itu Filsafat Bahasa? Maka, yang harus digarisbawahi, Filsafat Bahasa adalah sebuah aliran pemikiran dalam bidang bahasa, yang lahir di lingkungan Universitas Cambridge di Inggris pada akhir abad ke-20.

Aliran ini, pada dasarnya hendak mengkritisi aliran Linguistik yang sudah berjaya sejak tahun 1930-an, dengan prinsip bahwa bahasa sangat lekat dengan masyarakatnya sehingga muncullah apa yang disebut ‘language games’ (tata permainan bahasa) atau konteks bahasa. Artinya, bahasa terkonteks dengan masyarakat penggunanya.

Dalam konteks itu ada nilai dan aturannya sendiri yg membedakannya dengan konteks-konteks lain. Itulah mengapa misalnya, ada konteks bahasa gaul, ada konteks bahasa teroris, atau konteks kehidupan tertentu lainnya yang bisa menimbulkan salah pengertian yang terkategori pidana.

Dalam perkembangannya, aliran Filsafat bahasa berkembang ke mana-mana (kecuali di Indonesia) dan kemudian mengilhami aliran pemikiran yang kemudian, seperti poststrukturalis, postmodern, dekonstruksi, dan seterusnya.

Sementara menyinggung tentang masalah sosial-politik mungkin tidak menarik minat lagi oleh para penyair dewasa ini, karena memang tidak berminat. “Tidak seperti zaman Orla, atau bahkan zaman Orba, ketika memang banyak peristiwa sos-pol yang mengilhami para penyair. Jadi ini cuma masalah pilihan pada tema,” pungkasnya.(*)

*) Lasman Simanjuntak berdomisili di Perum Pamulang Permai I Pamulang, Kota Tangerang Selatan.
Email : pulo_lasman@yahoo.com, Medsos : 1.Facebook : Bro, 2.Instagram : Lasman Simanjuntak
3.Youtube : Lasman TV, 4.Tik Tok : Lasman Simanjuntak.

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5