
Sebaiknya Cilegon tidak perlu lagi membanggakan diri dengan sebuitan “kota santri”. Perilaku masyarakat dan pejabatnya sama saja: bejat! Kasus korupsi, narkoba, miras, pelacur ada di mana-mana. Setidaknya itu yang bisa saya rasakan setelah membaca buku “No LC No Party” (Penerbit Harfa Creative, Januari 2025) karya Mang Pram.

Saya sungguh kaget. Mang Pram ini relawan Rumah Dunia yang belajar di Kelas Menulis Rumah Dunia IV (2004). Diksi-diksi yang dipilihnya menjadi kalimat yang kemudian menjadi esai di buku luar biasa indah. Ada yang saya kutip di sini, esai nomor 11, Jedag-Jedug JLS Cilegon: No LC, No Party, halaman 61:

“Di balik setiap meja, di bawah lampu temaram yang menari-nari, ada sosok perempuan yang selalu menarik perhatian. Ia adalah Lady Companion atau cukup disbut ‘LC’, sang ‘bintang’ di malam pnuh gairah. Dengan pakaian minim yang memperlihatkan keindahan tubuhnya, para LC adalah penari tanpa panggung, menggoda tanpa kata-kata.”


Begitulah mestinya esai, dituliskan dengan gaya sastra. Saya ingat ketika bekerja di Kelompok Kompas Gramedia, Mas Arswendo Atmowiloto berbicara kepada saya, “Kekuatan dari pengarang itu nanti akan muncul ketika menulis feature atau esai.”

Saya ingat betul Mang Pram saat masih SMA, 2004. Dia berkulit hitam, setiap Minggu pagi berangkat dari Cilegon naik kereta, turun di Royal, dan naik angkot ke Pakupatan. Ia berhenti di Kemang PUSRI dan jalan kaki ke Rumah Dunia. Bayangkan saja perjuangannya belajar menulis di Rumah Dunia. Dia serius ingin belajar. Dan saya menaruh perhatian kepadanya.



Saya beberapa kali melibatkannya di proyek penulisan cerpen dan skenario FTV – saya masih bekerja di RCTI. Saya kemudian mendengar dia berkiprah di koran lokal Banten. Ketika era digital menggila, dia membuat Wilip Media Online. Prestasi menulisnya membuta saya bangga. Apalagi ketika mendapatkan kesempatan sebagai Penulis Skenario Inkubasi Scene Kemenparekraf RI 2021 dengan judul “Mister Jaipong”.

Tapi saya betul-betul semakin bangga ketika Mang Pram ini mulai fokus menulis esai tentang kampungnya yang bernama Cilegon di buku “No LC No Party” ini. Dia mulai resah dengan dekadensi moral yang terjadi sehingga mempertanyakan: Masih pantaskah julukan “Kontra Santri”? Andai Ki Wasyid yang kondang dengan “Geger Cilegon 1888” melihat kampungnya rusak seperti ini, dipastikan akan murka.


Sebetulnya saya tidak kaget dengan realitas, fakta, dan data yang disodorkan Mang Pram tentang Kota Cilegon sekarang di buku “No LC No Party”. Itu sudah terjadi sejak saya muda di era 1980-an. Begitulah memang nasibn sebuah kota yang sedang berpindah dari tradisi ke modernisasi, dari agraris ke industri. Apalagi di Kota Cilegon ada pabrik baja Krakatau Steel, industri kimia, pelabuhan penyeberangan, ekspatriat, para perantau yang bekerja di areal industri. Kota Cilegon sudah heterogen dan kompleks sejak itu.
Selamat kepada Mang Pram. Saya mengutip lagi dari Esai No 16, hlm 95: Cerita Sangkanila adalah simbol masa lalu, kopi remot adalah adaptasi, dan aplikasi digital adalah evolusi.
Bagaimana menurut Anda? Penasaran pingin baca? Beli saja di Rendez-vous Cafe Rumah Dunia.

Judul Buku : No LC No Party
Penulis : Mang Pram
Penerbit : Harfa Creative
ISBN : 976-623-184-331-9
Cetakan Pertama, Januari 2025
14 x 20 cm, 109 Halaman
Harga Buku : Rp70.000

Buku NO LC NO PARTY: Sudut Remang Kota Santri adalah kumpulan artikel reportase dan esai yang merekam dinamika sosial Kota Cilegon. Buku ini mengangkat ironi perubahan identitas Cilegon dari Kota Santri menjadi kota yang bergulat dengan modernisasi dan Industrialisasi. Terdapat 19 ulasan tentang hiburan malam, peredaran alkohol, hingga prostitusi online yang nyata terjadi di Kota Cilegon.
Boleh dibeli, tidak gratisan
Gol A Gong

