
Puisi Gol A Gong
BRAGA
Di jalan Braga nada itu kudengar
menghitung tuan dan nona Belanda
melarung cinta di jernih mawar
sungai Cikapundung membelah dada
Jalan Braga dalam kecapi
kita menitipkan bara api
di setiap malam Minggu
kisah kita abadi dalam lagu
Di trotoar jalan Braga
kita melipat ijazah
kembali ke dalam raga
kenangan masa depan rumah
Di jalan Braga kita asing sendiri
*) Kubu Raya, 12 Maret 2020

Puisi “Braga” karya Gol A Gong ini memiliki nuansa nostalgia dan romantisme kota Bandung, khususnya di kawasan Braga yang sarat dengan sejarah kolonial dan kehidupan urban. Beberapa hal menarik dari puisi ini:
- Latar Sejarah & Budaya
- Braga sering dikaitkan dengan masa kolonial Belanda, terlihat dari baris “menghitung tuan dan nona Belanda”.
- Ada simbolisme antara masa lalu dan masa kini, di mana jalan Braga tetap menjadi saksi perubahan zaman.
- Romantisme & Kenangan
- Baris “melarung cinta di jernih mawar” menggambarkan kisah cinta yang mungkin pernah ada dan kini tinggal kenangan.
- Penggunaan metafora “kita menitipkan bara api” bisa berarti perjuangan atau semangat yang terus membara.
- Konflik Antara Masa Lalu & Masa Kini
- “Di trotoar jalan Braga / kita melipat ijazah” mungkin mengisyaratkan kekecewaan terhadap dunia pendidikan atau sistem yang tidak sesuai harapan.
- Ada kesan bahwa meskipun masa depan terus berjalan, ada rasa keterasingan (“Di jalan Braga kita asing sendiri”).
Gol A Gong memang dikenal dengan gaya bahasanya yang sederhana tetapi kaya makna. Puisi ini seperti merangkum berbagai lapisan kehidupan di Braga—romantisme, sejarah, perjuangan, dan pencarian identitas. Menurut kamu, bagian mana yang paling menarik atau relate dengan pengalamanmu?
