Terima kasih kepada M Irsyad Zaki. Bukunya sudah saya terima: Skandal Sastra – Undercover (Kalam Publishing, 2019) karya Remy Sylado dkk. Di dalamnya sederet nama para tokoh sastra Indonesia merespon kehadiran Denny JA dengan puisi esainya, terutama merespon kehadiran buku “33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh”. Kok, nama saya tidak ada, ya? Ah, buku “33 Tokoh Sastra” itu hanya berisi dari kepala orang per-orang. Bukan dari satu badan/lembaga berpengaruh seperti DKJ, TIM, atau Kemdikbud, misalnya. Jadi, saya abaikan saja.

Sebetulnya apa yang ada di buku ini sudah saya pelajari sejak gonjang-ganjing puisi esai dimulai pada 2012 hingga 2024. Kehadiran puisi esai jadi menghangatkan iklim sastra di Indonesia. Gonjang-ganjingnya memang seru. Tidak apa-apa. Menjadi dialektika. Logikanya saya balik, mestinya tesanya adalah yang puisi mainstrem (status quo) dan Denny JA dengan Gerakan Puisi Esai menjadi antitesanya.

Ini hampir sama dengan Polemik Kebudayaan atau Prahara Budaya yang memotret pergulatan di bidang seni budaya era 1963-1966 dimana ikllim sosial-politik sedang membara. Dua kutub ideologi seni budaya yang bertentangan antara Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dipelopori Pramoedya Ananta Toer dan kelompok budayawan Manifes Kebudayaan yang dianggap memegang paham humanisme universal yang anti LEKRA karena berafiliasi pada Partai Komunis Indonesia.

Sepanjang yang saya dengar langsung dari Denny JA (mohon maaf kalau berbeda pendapat), disclaimer-nya lebih pada “Gerakan Puisi Esai”. Saya pernah tahu, pada awalnya mereka baik-baik saja hubungan antara Denny JA sebagai filantropi dengan para penulis. Ketika ramai-ramai menulis tentang buku puisi esai “Atas Nama Cinta” Denny JA, saya menolak bergabung. Saya menunggu apa yang akan terjadi dengan puisi esai. Apakah hanya gerakan sesaat? Ini hampir sama kemunculannya dengan fiksi islami yang digawangi Helvy Tiana Rossa dan Forum Lingkar Pena yang menuai pro dan kontra tapi kemudian mendunia dan eksis – keberadaannya tak bisa dilawan.

Kemudian para penulis (tidak semuanya) Indonesia tersentak dengan kemunculan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh (Jamal D. Rahman dkk, KPG, Januari 2014). Saya langsung datang ke KPG untuk membeli bukunya – malah diberi gratis. Saya coba cek nama-namanya. Wah, tidak ada nama saya, candaku.

Tapi yang sangat saya sesalkan, kenapa harus kebakaran jenggot sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas dilontarkan oleh seorang penulis? Saya saja yang tidak menulis puisi esai tapi menerima keberadaannya termasuk yang kena caci-maki bahkan sampai body shaming segala.

Saya membaca testimoni para pedukung puisi esai, sebelum kemunculan buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh, para penyair menyamakan puisi esai dengan prosa liris. Mereka bergabung dan adem-ayem, terbuka menyambut kehadiran puisi esai dengan ikut menulisnya. Saya teringat “Pengakuan Pariyem” Linus Surydai AG yang sebetulnya tinggal membubuhi linknya saja di catatan kaki.

Tapi kemudian beberapa penulis puisi esai mencabut dukungan karena dicaci-maki oleh sesama penulis juga atas nama estetika dan moral. Ada yang kemudian mengembalikan uangnya. Ada yang tidak mengembalikan uangnya dan mencaci-maki, ada juga yang memilih diam-diam menjauh. Saya merasa saat itu kelompok status quo di dunia sastra merasa “sastra Indonesia runtuh marwahnya”.

Baca juga di sini: Bersihkan Sastra Indonesia dari Politik Caci Maki oleh Muhammad Subhan.

Saya justru angkat topi kepada orang-orang yang hingga kini konsisten selama 12 tahun menolak puisi esai dan mencaci-maki Denny JA seperti halnya juga saya salut kepada Denny JA yang tetap teguh dengan gerakan puisi esainya. Saya juga salut kepada orang-orang yang tidak mengembalikan uangnya dan hingga sekarang tetap mendukung Gerakan Puisi Esai. Ada yang beralasan profesional dan ada yang luar biasa jawabannya, “Saya bahagia menulis puisi esai karena bisa melampiaskan kegeraman saya atas peristiwa sosial-politik di negeri ini.”

Ketika saya menyatakan bergabung dengan Gerakan Puisi Esai di Festival Puisi Esai Jakarta 2, PD HB Jassin, 13-14 Desember 2024, mereka menyambut hangat. Saya hanya geleng-geleng kepala ketika mendengar suka-duka Agus R. Sarjono, Fatin Hamama, Jamal D. Rahman, dan B. Damshauser bergabung di Gerakan Puisi Esai secara langsung. Kemudian saya membaca bukunya yang berjudul “Ini dan Itu Indonesia – Pandangan Seorang Jerman” (Komodo Books, 2015).

Tulisan saya ini memang sudah basi. Tapi ini karena merespon buku “Skandal Sastra – Undercover” tadi. Sayangnya prosa liris model Linus Suryadi AG tidak jadi gerakan sehingga hanya diketahui oleh orang-orang yang memang menekuninya dan cenderung berada di menara gading. Saya pernah bilang di Koran Tempo Minggu bahwa “Idealisme itu butuh ongkos”. Nah, kita jadi mencampuradukkan intrinsik dan ekstrinsiknya Denny JA. Padahal kita mengimani Roland Barthes: pengarang sudah mati. Tapi kita ternyata tidak mau mati dan memata-matai jagat raya.

Mohon maaf, kepada semua di sini. Saya ingin berteman dengan siapa saja. Saya mohon maaf juga, jika sekarang saya memutuskan ikut ambil bagian setelah 12 tahun jadi penonton. Saya melihat Gerakan Puisi Esai itu menarik untuk didukung. Ada hal yang lebih besar saya temukan di lapangan dan ini sudah saya lakukan (blusukan) sejak 1990, yaitu mengenalkan dunia literasi baca-tulis ke masyarakat.

Setelah 12 tahun dan jernih pikiran saya ketika melihat Gerakan Puisi Esai konsisten dan mendunia, bahkan ada di KBBI, dan Denny JA tidak jadi mentri di Kabinet Prabowo-Gibran, sekarang puisi esai saya jadikan metode, semoga bisa membawa Gen Z atau yang bukan penyair menuju ke sifat kritis. Mereka yang tadinya takut menulis puisi, jadi bisa lebih gembira dan bahagia. Ini bisa jadi transisi ke puisi mainstream. Ini pernah saya lakukan dengan Balada Si Roy pada 1988-1994, sebagai sastra transisi supaya mereka membaca Iwan Simatupang, Sanusi Pane, Chekov, Hemingway, Mangunwijaya, Budi Darma, Arwendo Atmowiloto Kahlil Gibran….

Kemarin, 14 Februari 2025, tanpa dibayar Denny JA dan tulus saya lakukan sebagai orang yang mendapatkan dampak positif dari baca-tulis, yaitu memberikan pelatihan menulis ke pelajar SMP Unggulan Uswatun Hasanah – Gen Z di Cilegon. Biasanya materi yang saya berikan itu cerpen atau novel tapi kini puisi esai mini 500 kata.

Kemarin saya coba puisi esai. Ini bukan semata soal estetika. Tapi ini metode agar mereka mau membaca. Menarik. Mereka tidak lagi disuruh “melamun” (Jadi puisi kamar, mengotak-atik kata. Kita harus maklum, mereka masih miskin empiris). Apalagi gen Z sekarang, hanya mengaktifkan jempol.

Mereka Gen Z di sekolah itu jadi seperti punya panduan untuk menulis puisi. Mereka jadi terhubung dengan peristiwa-peristiwa mereka; soal perundungan, mental health, balap liar, tawuran. Mereka tampak gembira karena berhasil memindahkan fakta yang membuat mereka geram dan marah ke dalam “puisi esai”.

Seperti dulu saya menulis Balada Si Roy dengan maksud “sastra transisi” (saya pernah kuliah di Fakultas Sastra UNPAD Bandung) dan meyakini pembacanya nanti akan meneruskan ke Iwan Simatupang, Ahmad Tohari, Mark Twain, Tolstoy, Chekov, Hemingway…

Begitulah juga sekarang, saya ikut ambil bagian di Gerakan Puisi Esai agar Gen Z atau yang bukan penyair nanti meneruskan ke puisi mainstream yang selama ini kita agung-agungkan. Semoga nanti mereka membaca puisi-puisi Amir Hamzah, Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Zawawi Imron, Sapardi Djoko Damono, Sutarji Calzoum Bachri, Afrizal Malna, Iyut Fitra, Tan Lioe Ie, Toto ST Radik, Joko Pinurbo, Hasan Aspahani…

Salam sastra
Gol A Gong

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia