
Oleh: Naufal Nabilludin
Angin laut menyambut ketika aku dan beberapa teman melangkah menuju Pura Batu Bolong, sebuah pura kecil yang berdiri di atas batu karang berlubang di tepi Pantai Senggigi. Pura ini terletak sekitar 13 KM dari pusat kota Mataram, tepatnya di Jalan Raya Senggigi. Langit Lombok siang itu cerah, debur ombak terdengar jelas, berpadu dengan pemandangan Gunung Agung yang samar, berdiri megah di seberang lautan.
Kami mengunjungi Pura Batu Bolong di sela-sela liburan di Pantai Senggigi. Sebelum masuk, aku bertanya kepada teman-teman perempuan, “Apakah ada yang sedang haid?”
Dua teman perempuan mengiyakan. Aku teringat bahwa tempat-tempat suci sering kali melarang perempuan yang sedang berhalangan untuk masuk. Untuk memastikan, aku bertanya kepada perempuan berkebaya yang berjaga di gerbang, “Apakah perempuan yang sedang haid boleh masuk?”
Dia menggeleng, lalu menjawab lembut, “Tidak boleh. Harus menunggu di luar.”
Kami menghormati aturan tersebut. Dua temanku memilih menunggu di luar, duduk di tepi pantai, menikmati angin yang membawa aroma laut.

Perempuan berkebaya dengan selendang melingkar di pinggangnya itu menyodorkan selendang merah kepada kami. “Silakan dipakai sebelum masuk,” katanya.
Aku menerimanya dan mengikatkan kain itu di pinggang dengan hati-hati. Teksturnya halus, sedikit licin di jemari, sementara ujungnya berkibar terkena hembusan angin.
Setelah membayar Rp10.000 per orang, kami perlahan melangkah masuk, merasakan suasana yang berbeda dari hingar-bingar pantai di luar.
Menyaksikan Ritual di Pura Batu Bolong
Saat berjalan lebih dalam, aku melihat seorang ibu yang tampaknya sedang berdoa. Tangannya tersusun dalam sikap sembah, tubuhnya sedikit condong ke depan.
Hanya ada beberapa turis saat itu, baik lokal maupun internasional. Sebagian datang bersama keluarga, sementara yang lain berjalan santai sambil mengobrol pelan. Di sudut lain, beberapa penjual makanan—termasuk pedagang telur gulung—berdiri menunggu pembeli.

Aroma dupa menyelimuti udara, bercampur dengan bau asin laut yang dibawa angin. Di dekat altar, beberapa umat Hindu sedang bersembahyang. Laki-laki mengenakan kain dan ikat kepala putih, sementara perempuan memakai kebaya dengan selendang yang terikat rapi di pinggang. Mereka duduk bersimpuh di atas lantai batu, tangan tersusun dalam sikap sembah, mata terpejam, bibir mereka bergerak pelan merapal doa.
Di sekitar tempat sembahyang, terlihat tumpukan canang sari, persembahan khas umat Hindu. Anyaman kecil dari daun kelapa itu diisi dengan kelopak bunga berwarna-warni—merah, kuning, ungu, dan putih—dan beberapa helai daun hijau.

Aku melangkah pelan, menyesuaikan diri dengan atmosfer yang lebih tenang. Kami berhati-hati agar tidak menginjak canang sari yang tersebar di beberapa sudut. Ketika hendak naik ke atas areal pura, kami berhenti sejenak membaca papan peringatan: “Mohon untuk tidak naik ke atas areal pura, kecuali sembahyang. Terima kasih.”
Tidak ada yang mencoba melanggar. Kami berdiri di tangga, sekadar mengamati dari jauh mereka yang khusyuk beribadah.

Aku mendadak ragu: apakah kehadiran kami, sebagai pengunjung, tidak mengganggu ketenangan ibadah mereka? Tapi ini juga tempat wisata, bukan?
Antara Wisata dan Sakralitas
Pura Batu Bolong, seperti banyak tempat ibadah lainnya, bukan sekadar destinasi wisata. Ia adalah ruang sakral, tempat orang-orang datang dengan niat beribadah, menemukan kedamaian, dan terhubung dengan keyakinan mereka.
Namun, di sisi lain, pura ini juga terbuka untuk pengunjung, menjadi jembatan bagi mereka yang ingin belajar dan memahami budaya Hindu di Lombok.

Wisata religi memang memiliki dua sisi. Ia bisa menjadi ajang edukasi dan toleransi, tetapi juga berpotensi mengikis sakralitas jika tidak diimbangi dengan aturan yang jelas dan kesadaran dari pengunjung.
Pengunjung yang datang dengan sikap hormat, menaati aturan, dan memahami batasan tentu bisa tetap menjaga ketenangan tempat ibadah. Namun, jika ada yang melanggar aturan yang berlaku, keberadaannya bisa mencederai kesakralan tempat tersebut.
Aku kembali menatap laut dari celah batu karang yang bolong. Ombak terus menerjang tanpa henti, seperti perdebatan dalam kepalaku.

Aku teringat pengalaman di Islamic Center Lombok beberapa waktu lalu. Seorang turis asing datang bersama pemandunya, berdiri di dekat pintu sambil mendengarkan penjelasan tentang arsitektur dan sejarah masjid.
Saat itu, aku sedang salat sendirian dan tidak merasa terganggu—tidak ada suara gaduh, tidak ada tindakan yang mencederai kekhusyukan. Mereka ada di sana, tapi tetap menjaga jarak dengan yang beribadah. Mereka juga mengenakan kain sarung untuk menutup auratnya, menunjukkan rasa hormat terhadap tempat ibadah tersebut.
Pada akhirnya, mungkin bukan soal boleh atau tidaknya tempat ibadah menjadi destinasi wisata, tetapi soal bagaimana kita, sebagai pengunjung, bisa menjaga batas agar keberadaan kita tidak mencederai makna suci di dalamnya.
Menjadi Tamu yang Menghormati

Saat meninggalkan pura, aku melepas selendang merah yang tadi diberikan. Langkahku terasa lebih ringan, membawa pemahaman baru: bahwa wisata religi bukan hanya tentang mengunjungi tempat-tempat sakral, tetapi juga tentang memahami bagaimana berada di sana dengan penuh rasa hormat.
Tempat ibadah yang juga menjadi destinasi wisata adalah ruang yang mempertemukan keyakinan dan rasa ingin tahu. Sebagai pengunjung, kita punya tanggung jawab untuk menjaga kesucian dan keheningan tempat itu, sebagaimana kita ingin tempat ibadah kita sendiri dihormati.

Aku menyadari bahwa wisata religi bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin—tentang bagaimana kita belajar menghormati keyakinan yang berbeda, tentang bagaimana kita menyesuaikan diri tanpa mengusik kesucian tempat yang kita datangi.
Sebab, ketika kita berkunjung ke tempat suci, kita bukan sekadar wisatawan—kita adalah tamu di rumah spiritual orang lain.
Naufal Nabilludin

TRAVELING setip hari Jumat. Nah, kamu punya cerita traveling? Tidak selalu harus keluar negeri, boleh juga city tour di kota sendiri atau kota lain masih di Indonesia. Antara 1000-1500 kata. Jangan lupa transportasi ke lokasi, kulinernya, penginapannya, biayanya tulis, ya. Traveling di luar negeri juga oke. Fotonya 5-7 buah bagus tuh. Ada honoarium Rp. 100.000. Kirim ke email gongtravelling@gmail.com dan golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: traveling.

