
Oleh: Naufal Nabilludin
Pagi itu 25 Februari 2024 di Lapangan Gasibu, di depan Gedung Sate, saya bertemu dengan sosok yang begitu sederhana, namun penuh dengan semangat yang luar biasa—Pak Sariban.
Dengan sepeda ontelnya yang ikonik, ia datang membawa sapu lidi, capitan sampah, dan karung yang selalu setia menemaninya. Meski usianya sudah senja, gerakannya masih penuh tenaga, matanya masih bersinar dengan tekad yang kuat.
Saya mengamati bagaimana ia berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Ia tidak sekadar memungut sampah, tetapi juga berbicara, mengingatkan, mengajak orang untuk ikut menjaga kebersihan.

“Saya pejuang kebersihan, untuk anak-anak dan cucu kita di kemudian hari,” begitu bunyi tulisan yang tertempel di depan sepedanya. Bagi Pak Sariban, menjaga lingkungan bukan sekadar kebiasaan, tetapi panggilan hati.
Ketika saya bertanya mengapa ia tetap melakukan ini meski tanpa imbalan, ia hanya tersenyum. “Sejak usia lima tahun saya sudah tergerak untuk membersihkan lingkungan. Perintahnya sudah jelas dalam agama, bahwa kebersihan itu sebagian dari iman. Saya hanya menjalankan perintah agama dengan ikhlas,” katanya. Jawaban yang sederhana, tapi begitu menusuk ke dalam hati.
Pak Sariban bukan hanya seorang relawan kebersihan, ia adalah simbol ketulusan. Sejak tahun 1983, ia mengabdikan dirinya untuk membersihkan Kota Bandung, tanpa pamrih, tanpa lelah.
Setiap hari, ia mengayuh sepedanya dari rumahnya di Gang Cikondang ke berbagai sudut Bandung, memastikan kota ini tetap bersih dan nyaman untuk semua orang. Ia tidak hanya menyapu jalanan, tetapi juga mencabut paku dari pohon, karena baginya, setiap bagian dari lingkungan harus dijaga.
“Saya ingin Bandung menjadi Kota Kembang yang bersih, tidak ada sampah. Karena kalau bersih, enak dipandang mata,” ujarnya saat itu. Ada kebanggaan dalam suaranya, tapi juga tersirat kesedihan.
Meski Kota Bandung telah jauh lebih baik dibanding puluhan tahun lalu, ia masih melihat begitu banyak orang yang abai terhadap kebersihan. Namun, itu tidak membuatnya menyerah. Ia terus berjuang, dengan keyakinan bahwa perubahan harus dimulai dari diri sendiri.
Hari ini, saya menerima kabar bahwa Pak Sariban telah berpulang pada 1 Maret 2025. Sejenak, saya terdiam. Rasanya sulit membayangkan Bandung tanpa sosoknya. Tidak akan ada lagi pria berbaju kuning yang berkeliling dengan sepedanya, tidak akan ada lagi suara lembut yang mengingatkan orang-orang untuk tidak membuang sampah sembarangan. Kota Bandung kehilangan penjaganya.

Terima kasih, Pak Sariban. Terima kasih telah mengajarkan kami bahwa menjaga kebersihan bukan sekadar tugas pemerintah, tetapi tanggung jawab kita semua. Terima kasih atas ketulusan dan keikhlasanmu, atas setiap sapuan sapu lidi yang kau ayunkan, atas setiap sampah yang kau pungut dengan tanganmu sendiri.
Engkau telah menunjukkan kepada kami bahwa kebaikan tidak selalu harus besar dan megah. Terkadang, kebaikan hadir dalam bentuk sederhana—seperti seorang lelaki tua yang mengayuh sepeda ontelnya setiap hari, membersihkan jalanan tanpa meminta imbalan apa pun.
Semoga perjuanganmu tidak berhenti di sini. Semoga semangatmu tetap hidup dalam diri kami yang pernah bertemu dan terinspirasi olehmu. Selamat jalan, Pak Sariban. Bandung akan selalu mengenangmu, dan kami akan berusaha meneruskan jejak langkahmu.

