
Oleh: Muhzen Den
Istriku selalu bilang bahwa anak-anak tidak boleh lepas dari keluarga di Serang. Artinya, silaturahmi dengan saudara-saudara di Serang harus tetap terjalin. Mendengar omongan istriku ini, aku meyakini bahwa akar sejarah dan latar belakang hidupku berasal dari sana, kota jawara. Selain itu, ada salah satu rumah belajar yang membentuk pola pikir dan jiwa bertualangku, yakni Rumah Dunia.
Awal tahun ini aku sempat pulang ke Serang, selain karena kondisi darurat bapakku yang pada akhirnya beliau berpulang ke Rahmatullah, juga karena panggilan rindu nan menumpuk di jiwa ini. Selain pulang ke rumah bertemu emak sampai mengantarkan bapak berpulang selamanya, juga mampir ke Rumah Dunia. Meskipun tidak seperti dulu lagi, tapi aku maklum dengan kondisi dan situasi waktu yang terus berjalan serta berubah.

Selain itu, aku juga merindukan sosok sang presiden Rumah Dunia, almarhum Abdul Salam. Sejak dia berpulang, aku belum sempat menjenguk dirinya bahkan di tempat peristirahatannya pun. Bukan karena tidak mau atau apalah, tapi rongga di dada ini masih sakit dan menyesal tak sempat bersua dengan Abdul Salam. Bayang-bayang Salam seolah-olah terus menggelayuti tiap sudut Rumah Dunia yang aku jejaki saat itu.
Kemudian aku seperti bernostalgia saat awal-awal dulu bergabung di Rumah Dunia. Memang sejauh apapun aku melangkah, kenangan manis menempa ilmu dan belajar di Rumah Dunia tak pernah luput oleh waktu. Karenanya, aku ketika pulang ke rumah emak, selalu menengok dan mampir ke Rumah Dunia barang sejenak, meskipun saat itu sepi, tapi aku seperti menghirup kembali aura semangat kerelawanan dan kepenulisan.
Tak dimungkiri walaupun aku telah berjarak dengan Rumah Dunia–dalam arti setelah berkeluarga tak lagi intens berkunjung karena prioritas urusan pribadi–namun secara ruh literasi selalu mengingat masa-masa di Rumah Dunia. Selalu update tentang informasi terbaru di Rumah Dunia melalui lama digital dan media sosial meski tidak begitu detail.

Bagiku, Rumah Dunia akan selalu menjadi rumah yang tetap aku kunjungi saat pulang ke Ciloang, Serang, nanti. Sebab, jarak rumah emak dan Rumah Dunia hanya dibatasi jalan umum. Bahkan, ketika adik-adikku bahkan ponakanku terlihat aktif mengikuti aktivitas literasi di Rumah Dunia, itu seperti memberi jawaban bahwa keluarga besar kami pun tak bisa lepas dari Rumah Dunia.
Apalagi di Rumah Dunia bertemu kembali dengan Mas Gol A Gong dan Mbak Tias Tatanka seperti aku ingin kembali menjadi relawan lagi. Tapi aku sadar. Aku yang dulu telah berubah dan saatnya generasi baru yang melanjutkan estafet kerelawanan di Rumah Dunia.

Hari ini, Senin (3/3/25), merupakan tepat hari dan tanggal berdirinya Rumah Dunia. Sekarang Rumah Dunia sudah menginjak ke-23 tahun. Aku mengingat tahun 2002 awal bergabung dari anak-anak yang lugu, pemalu, minder, dan gugup berbicara sampai dengan 2013 jadi pemuda yang berani keluar jadi perantau, seolah tidak menyangka perubahan yang aku alami di Rumah Dunia.
Meskipun aku masih merasa kurang dan belum banyak memberi kontribusi besar untuk Rumah Dunia, tapi orang-orang tetap tidak bisa membuang latar belakang siapa dan dari mana aku berasal, yakni Rumah Dunia. Makanya, setiap kali pulang ke rumah emak, aku juga pulang ke Rumah Dunia.
