
Kata Bung Karno, “Indonesia ini kurang imajinasi.” Maka si Bung membangun Monas, patung Dirgantara, patung Pembebasan Irian Barat, patung Dirgantara, yang diharapkan bisa memancing imajinasi rakyat Indonesia untuk maju, terbebas dari imprealisme dan kolonialisme.

Begitu juga ketika kita menulis cerita (novel) anak, kita kurang unsur fantasinya. Kita dibatasi norma agama (Islam), norma pendidikan (akademisi PAUD). Cara berpikir formal atau teoritis berjarak dengan duinia kreativitas. Cerita-cerita fabel seperti “si kancil anak nakal, suka mencuri ketimun” dianggap bisa merusak mental si anak.

Bahkan menulis cerita fantasi juga dari segi agama dilarang. Bagaimana bisa seorang bidadari dengan tongkat ajaibnya menyulap batu jadi makanan? Hanya Tuhan yang bisa melakukan itu. Rumit juga jika agama sudah dibawa-bawa dalam dunia fiksi anak. Tias Tatanka mencoba menawarkan novel terbarunya yang berjudul “Negeri Permen” (Penerbit MCM, februri 2025).

Maka jangan heran jika di negeri ini tidak lahir novel sekelas Harry Potter dan Narnia karena dibatasi oleh kaum akademisi dan agamawan. Kita bisanya hanya membuat film-film horor, karena itu dianggap sudah jadi bagian dari legenda, yang melekat di hati masyarakat. Padahal di film horor juga ada fantasinya; hantu bisa terbang.
Gol A Gong

