
Oleh: Naufal Nabilludin
Belakangan ini, di media sosial banyak yang curhat kalau Ramadan di usia dewasa gak lagi seseru waktu kecil. Ada yang bilang karena udah gak bisa main petasan sampai tengah malam, ada yang ngerasa Ramadan kehilangan magisnya karena nenek yang dulu jadi pusat keluarga udah gak ada, atau sekadar merasa semuanya gak lagi sehangat dulu.
Ramadan yang dulu penuh euforia, sekarang terasa seperti bulan biasa—hanya dengan tambahan puasa dan ibadah yang (jujur saja) kadang terasa berat dijalani.
Aku sendiri merasakannya. Dulu, Ramadan adalah bulan yang selalu ditunggu. Bangun sahur berasa petualangan seru, apalagi kalau ibu sampai harus teriak-teriak bangunin satu rumah. Ngabuburit berarti main di luar rumah sampai magrib, berburu takjil bareng keluarga, dan nunggu adzan Magrib sambil mantengin televisi yang selalu muterin iklan sirup yang itu-itu lagi. Tarawih pun jadi ajang ketemu teman-teman, lebih sering bercanda di masjid daripada benar-benar fokus ibadah.
Sekarang?
Sahur cuma bangun seadanya, makan pun kalau sempat. Ngabuburit lebih sering dihabiskan dengan scroll media sosial, bukan lari-larian di luar rumah. Bukber yang dulu dinanti, sekarang lebih sering gagal karena jadwal yang gak ketemu atau dompet yang makin tipis.
Tarawih yang dulu jadi alasan buat main di masjid, sekarang malah sering dilewatkan karena capek habis kerja atau kuliah. Ramadan yang dulu penuh energi, sekarang terasa melelahkan.
Aku pernah nanya soal ini ke Bang Fajri dan Bang Rahmet waktu berbuka puasa di Rumah Dunia. “Mungkin karena semakin dewasa, semakin kompleks juga masalah yang kita hadapi,” kata Bang Rahmet. “Jadi Ramadan ya gak semenyenangkan waktu kecil, yang penting cuma main, dapat uang, dan jajan takjil.”
Aku mengangguk. Benar juga. Dulu, kita gak perlu mikirin banyak hal. Ramadan cuma soal keseruan. Sekarang, Ramadan datang dengan tanggung jawab: kerjaan tetap harus jalan, deadline tetap harus dikejar, bahkan di tengah puasa yang kadang bikin energi habis.
Beberapa orang bahkan harus berpuasa sambil cari kerja, sambil menghadapi tekanan hidup, sambil memikirkan masa depan yang semakin gak pasti. Pikiran kita terlalu penuh untuk sekadar menikmati Ramadan seperti dulu.
Tapi yang bikin Ramadan semakin terasa “biasa aja” adalah karena beberapa orang yang dulu bikin Ramadan berwarna, sekarang gak ada lagi. Dulu, Ramadan selalu berarti pulang ke rumah nenek, makan sahur rame-rame, berbuka dengan menu sederhana tapi penuh kebersamaan. Sekarang, beberapa di antara mereka udah gak ada. Rumah yang dulu ramai, sekarang lebih sepi. Tradisi yang dulu ada, sekarang perlahan menghilang.
Dan tanpa sadar, Ramadan yang dulu penuh kegembiraan, sekarang lebih banyak membawa rasa rindu.
Tapi apakah itu berarti Ramadan sekarang jadi gak berarti?
Enggak juga.
Ramadan mungkin gak semenarik dulu, tapi selalu ada hal-hal kecil yang tetap bisa kita syukuri. Entah itu momen berbuka bersama keluarga, secangkir teh hangat setelah seharian menahan haus, atau sekadar waktu untuk berhenti sejenak dari hiruk-pikuk dunia. Yang terpenting, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu Ramadan tahun ini—dan semoga, masih diberi umur untuk bertemu Ramadan di tahun-tahun mendatang.
Ramadan di usia dewasa mungkin gak lagi dipenuhi euforia seperti dulu, tapi tetap punya makna yang dalam. Ia mengajarkan kita tentang sabar, tentang menahan nafsu, dan tentang melihat kebahagiaan dari cara yang berbeda.
Mungkin bukan lagi tentang petasan atau amplop THR, tapi tentang bagaimana kita belajar menjadi versi diri yang lebih baik.

