
Oleh: Zaeni Boli
Melihat potongan postingan rapat di DPR baru-baru ini, tampaknya ada pembahasan terkait persoalan olahraga. Mari kita fokus pada komentar Ahmad Dhani dalam rapat tersebut. Di sana, Ahmad Dhani, sebagai anggota DPR, menyampaikan bahwa ia setuju dengan naturalisasi pemain, bahkan di usia 40-an pun tak jadi soal.
Dengan gaya bicaranya yang khas, ia berpendapat bahwa jika memungkinkan, pemain-pemain naturalisasi tersebut sebaiknya dinikahkan dengan perempuan Indonesia agar terlahir bibit unggul.

Pernyataan ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, khususnya di kalangan netizen sepak bola Indonesia. Di media sosial, mereka ramai-ramai membully pernyataan Ahmad Dhani dengan berbagai hinaan dan komentar. Namun, saya ingin berpikir dari sudut pandang lain.
Pertama, bukankah di negara demokratis perbedaan pendapat itu boleh dan wajar? Meski kita tahu bersama bahwa netizen Indonesia terkenal bar-bar dan kadang tak peduli jika harus menghancurkan mental seseorang—hal yang sayangnya kerap dinormalisasi. Akhirnya, sebagai bangsa yang besar, kita perlahan kehilangan nilai-nilai tata krama dan tidak lagi bisa menghargai perbedaan pendapat.
Lepas dari komentar netizen terkait pernyataan Ahmad Dhani, jika kita menyelami lebih dalam, sebenarnya secara perlahan pernyataannya sudah mulai terwujud. Beberapa pemain muda Timnas Indonesia adalah anak dari pesepak bola, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Sebut saja Ronaldo Kwateh, Welber Jardim, Rahmat Irianto, dan lain-lain. Saya percaya bahwa genetika juga berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Kita melihat bagaimana dunia berharap kejayaan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo kembali terwujud melalui anak-anak mereka, yang juga menggemari sepak bola.

Meski hal ini belum pasti, saya melihat Ahmad Dhani sebagai seorang visioner. Orang-orang visioner kerap dianggap nyeleneh karena pemikirannya tak selalu sesuai dengan zamannya.
Masih ingatkah kita pada pernyataan Presiden ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengatakan bahwa DPR RI seperti taman kanak-kanak? Saat pernyataan itu dilontarkan, banyak yang menertawakan dan mencibirnya. Namun, hari ini kita masih bisa menyaksikan sendiri bagaimana sikap kekanak-kanakan kerap dipertontonkan oleh anggota dewan.
Saya berpikir bahwa kita semua bisa belajar arti perbedaan tanpa harus membully.

