Oleh: Auliatus Syarifah, alumni kelas menulis Rumah Dunia ke-38

Novel berjudul “Dompet Ayah Sepatu Ibu” karya JS. Khairen ini menjadi salah satu buku best seller di Gramedia berbagai kota di Indonesia.  Dari beberapa ulasan yang ditulis pembaca, novel ini konon akan mengaduk emosi para pembacanya. 

Pembaca akan dibuat tersedu-sedu di beberapa episode, tiba-tiba dibuat ketawa di beberapa episode berikutnya, dan beragam rasa lain yang dirasakan pembaca saat menyelami cerita dalam novel ini. Meminjam buku dari seorang kawan, saya pun tak sabar ingin segera membaca, dan menyelami perjuangan hidup dua tokoh utama dalam novel ini, Asrul dan Zenna.

Mengangkat latar budaya Minangkabau yang  cukup kental, kisah Asul dan Zenna dalam buku ini begitu menyentuh perasaan. Tiap lembar kisahnya terukir perjuangan dengan nyala semangat yang tak pernah padam. Mereka sama-sama terlahir dari keluarga yang miskin. 

Tak mudah bagi mereka melewati rintangan untuk keluar dan memutus rantai kemiskinan. Namun, dengan rintangan dan segala keterbatasan itulah yang memacu mereka bangkit untuk mewujudkan harapan dan cita-cita.

Hidup di pinggang Gunung Singgalang, Zenna yang merupakan anak keenam dari sebelas saudara ini harus naik turun gunung untuk pergi ke sekolah. Tak hanya untuk belajar di sekolah, ia juga selalu membawa jagung rebus untuk dijajakan kepada tetangga, atau teman-temannya di sekolah. Jika jagung rebusnya masih tersisa, maka jagung rebus itulah yang menjadi sarapan istimewa baginya. 

“Benarlah adanya, kemiskinan membuat bermimpi pun harus tahu diri” (Halaman 85) “

Lahir dari keluarga miskin dan serba kekurangan, membuat Zenna ikut berjuang agar tak menjadi beban. Sepatu lusuh yang sudah rombeng, menjadi saksi langkahnya menempuh perjalanan ke sekolah. Sepatu rombeng itu merupakan warisan dari kakak-kakaknya. 

Suatu ketika, abaknya (ayah) berjanji akan membelikan sepatu baru untuk Zenna. Namun, ia tahu janji abaknya itu tak akan bisa dipenuhi. Karena abaknya telah pergi untuk selama-lamanya. Momen terpedih itu menjadi titik balik kehidupan Zenna. Ia berjanj akan berjuang untuk perekonomian, dan pendidikan adik-adiknya.

Zenna, si anak tengah yang sering terabaikan, namun yang paling berjasa untuk keluarga, cita-cita dan masa depan. Meski lahir dari keluarga miskin, ia merupakan gadis yang cerdas dan kaya hati. Apapun ia kerjakan demi kehidupan yang lebih layak. Di dunia yang penuh egoisme, Zenna selalu mengutamakan  kepentingan keluarga dibanding kebutuhan dirinya sendiri. 

Zenna yang sedari kecil bercita-cita menjadi seorang guru, ia sempat menunda melanjutkan pendidikan demi adik-adiknya. 

Di tempat lain, Asrul yang anak pertama hidup bersama umi dan dua adiknya di pinggang gunung Marapi. Tak berbeda jauh dengan Zenna, Asrul juga hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Sejak bapaknya menikah lagi, Asrul, umi, bersama kedua adiknya tinggal di rumah kayu yang sudah lapuk,  peninggalan kakek mereka. 

Hidup dalam kemiskinan, membuat Asrul dan adiknya harus bekerja keras untuk  membantu perekonomian keluarga. Selepas sekolah, mereka pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar. Esoknya, disaat kabut pagi masih menyelimuti gunung Marapi, Asrul, umi, dan adiknya melangkah menuju pasar untuk menukarkan kayu bakar dan sayuran dengan lembaran rupiah. Hasil dari penjualan kayu bakar yang tak seberapa itu, mereka gunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Takdir akhirnya mempertemukan Asrul dan Zenna di kampus. Meskipun mereka sama-sama lahir dari keluarga miskin, namun tak memadamkan api semangat mereka untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Untuk mencukupi kebutuhannya, Zenna bekerja di toko sepatu dan menjual makanan yang ia jajakan sebelum mengikuti perkuliahan. Begitupun dengan Asrul, ia bekerja dia redaksi Harian Semangat sebagai penulis berita.

Setiap hari, Zenna selalu menyisihkan makanan untuk Asrul. Begitupun dengan Asrul yang dengan senang hati membiarkan Zenna mencatat resep-resep makanan dari koran yang dibawanya. Lambat laun, akhirnya bunga-bunga cinta tumbuh diantara keduanya. Mereka akhirnya memutuskan menikah dan merangkai hidup bersama. 

Ujian dan berbagai rintangan silih berganti hadir mewarnai perjuangan rumah tangga mereka. Namun, mereka tetap semangat sembari memastikan anak-anak mereka tumbuh dengan baik, hingga berhasil mengantarkannya ke gerbang perguruan tinggi.

Kisah dalam novel “Dompet Ayah Sepatu Ibu” ini menjadi gambaran yang kuat akan ketabahan dan semangat juang dalam menghadapi kemiskinan. Dengan latar belakang yang berbeda, Asrul dan Zenna memiliki impian yang sama, yaitu keluar dari kemiskinan dan berjuang untuk membangun kehidupan yang lebih baik. 

Dalam kisah dua tokoh tersebut, seakan menjelaskan bahwa di dunia ini tak ada yang instan dan ajaib. Semua harus ditempuh dengan kerja keras.

Benar jika kau tak pernah memilih lahir dari orang tua yang seperti apa. Begitu juga orang tuamu, mereka tak pernah memilih melahirkan anak yang seperti apa. Maka keduanya dapat tanggung jawab dan anugrah yang sama (halaman 25)

Setiap keluarga tentu memiliki ujiannya masing-masing. Bapak dan ibu kita juga baru pertama kali menjalankan peran sebagai orang tua. Ibu mu punya retak, begitu pula dengan ayahmu. Memaafkan mereka adalah obat dari segala obat.

Secara keseluruhan, novel ini memberi pesan mendalam kepada pembaca, bahwa keluar dari jeratan kemiskinan merupakan bukan suatu hal yang mustahil. Selagi kita mau berjuang, mengambil langkah nyata dengan segenap keberanian, kehidupan yang lebih baik itu pasti bisa kita dapatkan.

Identitas Buku 

Judul : Dompet Ayah Sepatu Ibu

Penulis : JS. Khairen

Penerbit : Grasindo 

Tahun Terbit : 2024

Halaman : 216

*Auliatus Syarifah, penulis merupakan anggota kelas menulis Rumah Dunia ke-38, baru mencoba menjadi solo traveler sebagai langkah awal mimpinya bisa keliling dunia. Silaturahmi lebih lanjut kunjungi ig @Syaulia_311.

Please follow and like us:
error70
fb-share-icon0
Tweet 5