Oleh: Fauzi

Pernahkah kita berpikir bahwa di dalam tubuh ini tersembunyi sebuah misteri yang luar biasa? Ada tiga ukuran yang jarang kita perhatikan, tetapi sebenarnya sangat menentukan kesehatan kita: 6 cm, 6 m, dan 100.000 km. Ya, 6 cm adalah panjang lidah, 6 m panjang usus, dan 100.000 km adalah panjang pembuluh darah kita.

Di zaman yang dipenuhi kemudahan, kecepatan, dan segala sesuatu yang instan, saya mendapati kenyataan yang memilukan. Dulu, saya yakin bahwa kemudahan hidup ini akan membawa kebahagiaan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi kita semua. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang harus kita korbankan, yaitu kesehatan kita.

Sebelum bulan Ramadan lalu, saya mengunjungi dua rumah sakit, yaitu RSUD Bangkalan dan RSUD Dr. Soetomo di Surabaya, untuk menjenguk seorang kerabat yang dirawat akibat kecelakaan. Di momen itu, saya sering mendengar sebuah pepatah yang mengatakan:

Ada dua nasihat terbaik: satu, rumah sakit; dua, kuburan

Setibanya di rumah sakit, saya menyaksikan banyak anak seusia saya, bahkan ada yang lebih muda, terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan. Beberapa di antara mereka menggunakan kursi roda karena kehilangan kaki, ada yang kehilangan tangan, dan sejumlah lainnya harus menjalani cuci darah rutin dua minggu sekali. Melihat anak-anak yang seharusnya sibuk menuntut ilmu kini terjerat dalam urusan administrasi rumah sakit, hati saya menangis.

Saya pun bertanya kepada salah seorang perawat yang sedang menikmati makan siangnya di sebuah warteg, “Mengapa banyak anak muda yang masih berada di usia produktif sudah menderita penyakit yang serius?” Perawat itu menjawab sambil melanjutkan santapannya, “Salah satu faktornya adalah seringnya mengonsumsi makanan tidak sehat, seperti olahan instan, junk food, dan yang manis-manis.”

Mengapa Pola Makan Sangat Berpengaruh?

Obrolan tersebut mendorong saya untuk lebih mempelajari kesehatan secara mendalam. Sayangnya, saya menyadari bahwa banyak orang lebih mementingkan 6 cm, yaitu lidah atau rasa, sementara jarang di antara kita yang memperhatikan 6 m dan 100.000 km, yaitu usus dan pembuluh darah. Padahal, hal inilah yang sangat berdampak pada kesehatan kita.

Salah satu penelitian mengungkapkan bahwa banyak penyakit bermula dari lambung atau sistem pencernaan. Kesehatan pencernaan kita sangat bergantung pada apa yang kita konsumsi. Hal ini tidak hanya berlaku dalam ilmu sains, tetapi juga dijelaskan dalam Islam. Nabi Muhammad ï·º bersabda:

Tidak ada tempat yang diisi oleh anak Adam yang lebih buruk daripada perutnya. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya.

(HR. Tirmidzi).

Hadis ini menekankan pentingnya menjaga pola makan dan tidak berlebihan dalam mengisi perut. Rasulullah ï·º mengajarkan bahwa makan secukupnya sudah cukup untuk menjaga kekuatan tubuh, sementara makan berlebihan justru dapat membawa dampak buruk.

Menurut artikel yang saya baca serta podcast yang saya dengarkan di YouTube dari beberapa dokter, proses pencernaan makanan yang kita konsumsi dimulai dari mulut, kemudian turun ke lambung untuk dicerna. Setelah itu, makanan tersebut masuk ke usus kecil, di mana serat, asam amino, protein, vitamin, dan mineral diserap, lalu dikirim ke seluruh organ tubuh melalui pembuluh darah yang panjangnya mencapai 100.000 km. Nutrisi ini digunakan untuk berbagai fungsi tubuh, termasuk energi.

Namun, jika kita tidak mengonsumsi makanan yang sesuai dengan kebutuhan tubuh (makanan sehat), maka kita harus menanggung risikonya. Sebaliknya, jika kita memilih makanan yang dibutuhkan oleh tubuh, insyaallah kita akan tetap sehat.

Mengubah Kebiasaan: Dari 6 cm ke 100.000 km

Saya pribadi sudah mulai menerapkan prinsip untuk tidak mementingkan 6 cm atau rasa ketika berbuka puasa. Sebaliknya, saya lebih memprioritaskan 6 m dan 100.000 km—usus dan pembuluh darah. Sudah berjalan satu minggu ini, saya berbuka dan sahur dengan mengonsumsi kurma terlebih dahulu. Sungguh dahsyat manfaatnya! Salah satunya, ibadah menjadi lebih khusyuk, tidur lebih nyenyak, dan juga bisa menghemat pengeluaran untuk konsumsi.

Terkadang, makanan yang terasa enak di lidah tidak selalu baik bagi tubuh. Sebaliknya, makanan yang mungkin kurang enak bisa jadi sangat dibutuhkan oleh tubuh kita. “Mencegah lebih baik daripada mengobati,” demikian ungkap Dr. Cahyono. Menurutnya, dokter yang baik bukanlah yang hanya menjalankan bisnis obat, melainkan yang berperan sebagai guru bagi masyarakat.

Saya ingin menambahkan bahwa jika pemerintah ingin masyarakat sehat, seharusnya mereka fokus pada membangun silaturahmi, memberikan edukasi, dan menyediakan fasilitas olahraga, bukan hanya membangun rumah sakit. Seperti yang dikatakan teman saya, Ro’uf, pemangku kebijakan yang baik seharusnya berada di tengah masyarakat, bukan hanya di lingkungan kantor.

Semoga kita semua selalu diberi kesehatan di bulan yang penuh dengan kebaikan ini.

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5