Puisi Esai Gen Z karya Alfia Nur Alrasi – Pelajar MAN 1 Kuningan

(Warga dibuat heboh dengan tewasnya seorang ibu di dalam rumahnya dengan kondisi tubuh bersimbah darah. Diduga seorang ibu tersebut tewas dibunuh oleh anak kandungnya sendiri yang selama ini dikenal mengalami gangguan jiwa. Desa Cipakem, Kecamatan Maleber,  Kabupaten Kuningan. Senin, 16 Desember 2024.)

oOo

Hari bergulir bak roda tak henti,
waktu berjalan seperti arus sungai tak mengenal tepian.
Diluar rumah dedaunan gemetar ditiup angin,
sementara di dalam kesunyian begitu pilu.

Di sudut kamar berwarna pudar,
Haidar meringkuk dalam diam,
tubuhnya lunglai, matanya penuh amarah,
tatapannya tajam, penuh kemurkaan.

Laila mendekat, suara langkahnya terdengar pelan,
bagai desir angin takut membangunkan badai.
Ia tahu, ini bukan pertama kali.
“Nak, bangunlah. Hari telah pagi,” bisik Laila, dengan suara penuh kasih.

Haidar bangkit dengan tatapan nyalang,
ia berkata dengan suara parau, “Andai saja mamak tidak ada,
aku tak perlu hadir di dunia ini!” ucap Hidar tajam bak belati.

Laila tersentak namun memaksa terlihat tegar,
kasihnya tak luruh walau luka hampir menembus jiwanya.
Bagi Laila, Haidar adalah cahaya dalam kelam.

oOo

Rumah sakit menjadi saksi bisu,
betapa getirnya Laila berjuang demi anaknya,
berharap Haidar tumbuh seperti lainnya,
berlari, tertawa, dan bercanda.

Tapi nasib berkata tak pantas jika badai menjadi tenang.
Haidar terjebak dalam labirin penuh nestapa,
batin dan jiwanya bergejolak penuh luka,
hingga dunia terasa tak adil baginya.

Laila membuka laci kenangan,
mengambil sebotol obat penenang,
mencoba menawarkan harapan meski berkali-kali ditolak.
“Minumlah, Nak. Setidaknya ini membantumu.” Laila berucap lembut.

Haidar tertawa getir penuh ejekan.
Tangannya meraih obat dengan benci,
lalu dilempar hingga berserak di lantai sunyi.
“Sampah! Mamak pikir ini bisa menyelamatkanku?”
sentakan kasar Hidar menggetarkan tubuh Laila.

Laila menunduk, air matanya jatuh tanpa suara,
sementara Haidar pergi dengan langkah kasar,
menuju dapur, mencari sesuatu yang lebih tajam dari kata-kata.

oOo

Haidar menggenggam pisau dengan amarah berkobar,
menatap tajam bilahnya seolah-olah kematian ada di ujung sana.
“Lebih baik aku mati saja!” teriak Hidar mengguncang ruangan sunyi.

Laila berlari mendekap Haidar dari belakang,
mengusap rambutnya dengan gemetar,
“Nak, Tuhan masih mencintaimu, ibumu ini juga tak pernah berlalu.
Hiduplah lebih lama lagi, Nak.” Rintih Laila membisikan sanubari yang telah mati.

Haidar tak mendengar rintihan cinta Laila.
telinganya telah tuli dibebani amarah,
hatinya membatu dalam luka tak berdarah.

Haidar mendorong tubuh Laila tanpa nurani,
tubuh rapuh itu terjatuh tak berdaya,
pisau menari di atas kulit Laila, menyayat jari dan kaki nya.
“Nak! Berhenti! Ini ibumu!” Laila menangis bersimbah lara.

Jeritan Laila pecah, luka menganga
Haidar semakin buas berlari ke dapur,
mengambil cobek batu, dan dalam hitungan detik
“Diamlah kau, dasar tak berguna!”
Cobek batu di tangannya terangkat,
menghantam kepala Laila dengan tenaga pekat.
hingga suara jeritannya lenyap.

Dunia hening dalam hitungan detik,
darah merembes, kasih pun tercekik.
Sebelum mata Laila benar-benar redup,
Sebuah bisikan terakhir berdesir lembut.
“Laaila ha illalla” Laila pun pergi dalam keheningan,
meninggalkan rumah penuh kenangan.

oOo

Warga mendengar jeritan berbondong-bondong menuju rumah Laila.
Pintu terkunci, mereka mendobrak dengan ketakutan.
Saat terbuka Haidar terlihat berdiri dengan pakaian merah darah
wajahnya kosong tak menunjukkan rasa.

Laila tergeletak di lantai dengan kepala hancur,
jari-jarinya penuh sayatan pisau berdosa.
Warga menangkap Haidar menuju pihak berwajib.
Tapi siapa yang bisa memahami,
Dalam jiwanya, ia pun sekarat sendiri.

Laila pergi dari jutaan kenangan cinta tanpa batas.
Haidar terpenjara oleh takdir kelam menakutkan,
mengukir luka abadi dalam kehidupan.

*) Kuningan 10 Marert 2025

CATATAN: Cerita di puisi esai ini hanyalah fiksi. Terinspirasi dari kisah tragis IC di Maleber, Kuningan. Perempuan berusia 59 tahun bersimbah darah di dalam rumahnya yang terbunuh sadis oleh anak kandungnya sendiri yang berinisial S yang diduga berumur 36 tahun. Di Desa Cipakem, Kecamatan Maleber, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.

https://www.detik.com/jabar/berita/d-7689492/idah-tewas-bersimbah-darah-di-kuningan-diduga-dibunuh-anak-sendiri

oOo

TENTANG PENULIS: Alfia Nur Alrasi atau yang sering disapa Alfia merupakan seorang penulis muda kelahiran Kuningan, 15 September 2007. Menulis sudah menjadi hobinya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, ia terbiasa menulis jurnal harian, hingga tulisannya dapat berkembang sejak duduk di bangku MAN dengan berbagai macam karya tulis seperti karya tulis ilmiah, esai, dan puisi   yang sempat beberapa kali masuk kedalam perlombaan tingkat nasional. Kini ia telah berhasil mencoba menulis puisi esai. Untuk mengetahui puisi esai yang baru ditulis Alfia, bisa dilihat di buku yang telah tercetak.

PUISI ESAI GEN z: Puisi Esai Gen Baru ini puisi esai mini 500 kata khusus untuk Gen Z dan Gen Alpha. Disarankan tema-temanya yang relate seperti bully, mental health, patah hati, broken home, sex bebas, dan narkoba. Bagaimana kalau lingkungan, politik, atau kritik sosial ke penguasa? Boleh saja asalkan ada fakta dan sertakan link beritanya. Tuliskan 500 kata. Sertakan bionarasi maksimal 5 kalimat, 3 foto penulis dan 2 ilustrasi AI yang mendukung puisi esainya. Kirimkan ke golagongkreatif@gmail.com dengan subjek: Puisi Esai Gen Baru. Ada honorarium Rp 300 ribu dari Denny JA Foundation bagi yang puisi esainya tayang. Jangan lupa sertakan nomor rekening bank.

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5