
Oleh: Zaeni Boli
Hal ini mungkin sudah menjadi hal biasa dan selalu terulang setiap perayaan hari besar keagamaan atau saat cuaca buruk: ketersediaan minyak tanah—sumber tenaga utama untuk memasak bagi sebagian besar masyarakat Flores Timur, khususnya di Larantuka—menjadi langka.
Seperti pagi ini, 22 Maret 2025, di Pangkalan Minyak Tanah Sofia Sumintoro yang berada di Kelurahan Weri, Kecamatan Larantuka, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, tampak para ibu-ibu mengantre minyak tanah. Kehadiran minyak tanah selalu menjadi buruan mereka agar dapur tetap menyala.


Meski masih sangat pagi, mereka rela meninggalkan pekerjaan rumah demi mendapatkan minyak tanah. Jika tidak, mereka akan segera kehabisan karena stok di pangkalan terbatas. Para pembeli pun dibatasi jumlah pembeliannya untuk menghindari penimbunan.
Jika minyak tanah sudah langka, harga bisa naik tidak wajar. Dari harga normal Rp25.000, bisa melonjak hingga Rp50.000 saat kelangkaan terjadi dan stok di pangkalan habis.

Di tingkat eceran, harganya bahkan lebih tinggi. “Sungguh, hal ini sangat merugikan masyarakat,” ujar salah satu ibu yang sedang mengantre di pangkalan.
Inilah kondisi negeri ini, khususnya di Larantuka, Flores Timur. Sejak Indonesia merdeka, masyarakat Flores Timur masih mengandalkan minyak tanah untuk memasak.

Sebuah ironi yang sangat miris, di mana melalui berita kita bisa melihat dengan mata telanjang bagaimana para pejabat, khususnya di Pertamina, melakukan korupsi hingga triliunan rupiah.
Masyarakat belum merdeka, pejabatnya berpesta. Inilah ironi negeri ini.


