Saya mengenal jalan Sabang dari penyiar radio Maritim Kota Serang, Dadi Ramalangit. Setiap sore sebelum siaran, Kang Dadi bercerita seruas jalan Sabang yang dianggapnyasebagai cat walk. Dia secara khusus menceritakan toko kaset Duta Suara. Pada era 80-an, Duta Suara menjual kaset-kaset band art rock progresif dari luar negeri seperti Yes, ELP, Pink Floyd, Genesis, James Gang, Animal, The Doors, dan masih banyak lagi.

Jalan Sabang yang terus berdetak melintai Zaman/foto dokpri

Saya begitu terpukau dengan cerita Kang Dadi. Apalagi ketika Kang Dadi bercerita, bahwa jalan Sabang tempat nonkrong para senian Pegangsaan seperti Chrisye, Keenan Nasution. Bahkan di novel Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha, jalan Sabang pun disebut.

Mengutip https://dki.pikiran-rakyat.com/ dlam artikelnya yang berjudul ” Sejarah Jalan Sabang, Jakarta: Dari Jalan Kolonial hingga Pusat Kuliner ” menyebutkan, bahwa pada masa kolonial Belanda, jalan ini dikenal dengan nama Laan Holla. Nama ini diambil dari bahasa Belanda dan memiliki kaitan dengan sejarah migrasi di kawasan Jakarta. Selain sebagai pusat perdagangan, Jalan Sabang juga menjadi tempat tinggal bagi kalangan elite pada masanya.

Penjual satenya bernama Pak Heri, sama persis dengan nama saya juga: Heri Hendrayana/foto dokpri.

Seiring berjalannya waktu, nama jalan Laan Holla berganti jadi Jalan Sabang yang kita kenal sekarang. Itu diambil dari nama sebuah pulau di Aceh. Perubahan nama ini terjadi seiring dengan perubahan politik dan sosial di Indonesia. Kini Jalan Sabang bertransformasi menjadi pusat kuliner yang kita kenal sekarang. Berbagai jenis makanan, mulai dari yang tradisional hingga modern, bisa dengan mudah ditemukan di sini.

Kemudian saya remaja (1982, kelas 2 SMA) pun mampir ke Jalan Sabang, penasaran dengan cerita Kang Dadi. Mampir juga ke Jalan Jaksa dimana bule-bule lalu-lalang. Tidak lupa mampir ke Tugu Proklamasi, Pasar Senen, dan Gramedia Matraman sambil bernostalgia ke RS Cipto (dulu namanya CBZ), rumah sakit tempat tangan kiri saya diamputasi pada 1974.

Jalan Sabang sebagai pusat kuliner malam yang memanjakan lidah/foto dokpri

Puluhan tahun kemudian, persis 1 Syawal 1446 H atau Senin 31 Maret 2025, saya mengajak Tias menikmati kuliner di Jalan Sabang. Dari hotel kami jalan kaki menyusuri gang-gang di jalan Kebon Sirih. Saya ceritakan kepada Tias tentang legenda Jalan Sabang saat menikmati makan malam bebek dengan sambel hitamnya plus martabak telor dari Bangka. Kami makan malam diiringi musik jalanan yang melantunkan lgau-lagu Peter Pan.

Gol A Gong

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5

ditulis oleh

golagong

Duta Baca Indonesia 2021-2025 - Penulis 125 buku - Motivator Menulis - Pendiri Rumah Dunia