Oleh: Zaeni Boli

Lebaran kali ini saya memilih untuk tidak pulang kampung. Pada momen Lebaran ini, saya pun menyempatkan diri berkunjung ke rumah teman-teman dekat. Dari semua kunjungan itu, ada satu yang berbeda: salah satu teman saya, Pak Willy Weking, seorang guru yang beragama Katolik, ternyata memiliki ibu yang Muslim. Namanya Oma Osa.

Oma Osa sudah berusia 81 tahun, tetapi masih sehat. Pada kunjungan-kunjungan sebelumnya, setiap kali saya datang ke rumahnya, Oma selalu sigap membuat teh untuk kami.

Menjelang awal Ramadan tahun ini, Pak Willy bertanya kepada saya apakah saya memiliki buku Yasin untuk ibunya. Sayangnya, saya tidak punya, tetapi beruntung masih ada Al-Qur’an yang bisa saya hibahkan untuk Oma.

Kemudian, pada malam takbiran, Pak Willy kembali bertanya, “Kira-kira, salat Id di mana?” Saya pun menjawab, “Biasanya di Pelabuhan Larantuka, tapi kalau mendung atau hujan, salat Id dilakukan di masjid masing-masing.”

Demikianlah keteguhan Oma Osa. Meskipun berada di lingkungan yang berbeda keyakinan, Oma tetap setia menjalankan ibadahnya sembari menjaga hubungan baik dengan sekitarnya. Hal itu pula yang menguatkan saya untuk bersilaturahmi dengannya pada momen Lebaran ini.

Saya datang ke rumahnya bersama keluarga. Setelah bersalaman dan berbincang sebentar, kami berpamitan.

Sebelum kami pulang, rombongan KBG—sebuah kelompok Katolik di lingkungan tersebut—datang mengunjungi Oma Osa. Konon, setiap ada agenda KBG di rumah Pak Willy, Oma Osa-lah yang melayani para tamu dengan membuatkan teh atau kopi.

Sungguh, nilai-nilai toleransi sangat terjaga di tempat kami, Larantuka.

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5