Oleh: Muhzen Den

Tanggal dan tokoh penting yang harus dihapal sering jadi alasan ogah belajar sejarah. Padahal, melupakan sejarah adalah hal paling fatal dalam hidup manusia. Ada banyak pelajaran penting bisa dipakai untuk menghindari kesalahan yang sama. Nggak heran, kerap kali kita jadi saksi fenomena “historic recurrence” (sejarah yang terulang lagi).

Mulai dari bangkitnya politisi fasis (sayap kanan), genosida, dan hal mengerikan lainnya. Antara lupa atau memang tak pernah belajar dari masa lalu, ini harusnya jadi alarm buat generasi muda.

Kalau baca buku teks sejarah dirasa susah, cobalah untuk belajar lewat fiksi. Jangan anggap remeh eksistensi buku fiksi sejarah, berikut beberapa peran krusial yang tersempat pada mereka.

  1. Berikan gambaran apa yang terjadi di balik tanggal-tanggal krusial dalam sejarah

Buku fiksi sejarah memang tidak terjamin akurasinya, tetapi bukan berarti para penulisnya asal-asalan. Min Jin Lee butuh waktu bertahun-tahun untuk melakukan observasi etnografi dan wawancara langsung dengan beberapa Zainichi (orang keturunan Korea di Jepang) untuk menulis novel larisnya, Pachinko.

Novelis spesialis fiksi sejarah Ruta Sepetys (Between Shades of Gray, Salt to the Sea, I Must Betray You) juga mengawali proses menulisnya dengan membaca naskah-naskah akademik serta mencari testimoni dari para penyintas dan saksi sejarah. Teknik serupa dipakai pula oleh Leila S. Chudori saat menulis Pulang dan Laut Bercerita.

Artinya, buku-buku fiksi sejarah bukan sembarang roman biasa. Mereka dibuat dengan referensi yang bisa dipertanggungjawabkan. Namun, tidak bisa dimungkiri ada beberapa poin yang didramatisasi atau tidak seratus persen akurat mengingat pengalaman personal para saksi dan penyintas bisa berbeda dan bertentangan satu sama lain.

Namun, itu saja sudah cukup memberikan kita gambaran di balik tanggal-tanggal krusial dalam buku teks sejarah. Setidaknya, buat para pembaca fiksi sejarah, tanggal-tanggal itu kini tak lagi sebatas angka tanpa makna. Ada tokoh, tragedi, pengingat, penanda, bahkan pelajaran berharga di baliknya.

  1. Memberi suara untuk tokoh-tokoh yang terlupakan atau tersisih

Peran lain yang diemban fiksi sejarah adalah menjelaskan peristiwa sejarah dengan pendekatan yang berbeda dari buku teks. Ia sering kali mengekspos suara tokoh-tokoh terlupakan dalam sejarah.

Dalam Pachinko, kita diajak mengenal eksistensi Zainichi yang selama ini hampir tak pernah disinggung dalam budaya pop. Dalam A Thousand Splendid Suns (Khaleid Hoseini) dan The Nightingale (Kristin Hannah) pembaca ditunjukkan nasib dan peran perempuan saat konflik bersenjata pecah di suatu tempat.

Perspektif-perspektif itulah yang tidak mudah kamu temukan dalam buku sejarah pada umumnya. Ada banyak hal tak kita duga yang ternyata terjadi dan menimpa seseorang di luar sana. Ini yang selama ini jadi kekuatan fiksi. Dalam konteks sejarah, perannya makin dalam dan pekat karena ini berarti membuka fakta-fakta baru dalam peristiwa sejarah yang sering terlewatkan.

  1. Melatih kita untuk bisa berempati sekaligus berpikir kritis

Dari situlah, fiksi sejarah bisa jadi jembatan bagi pembaca untuk mengulik lebih dalam soal peristiwa tertentu. Belum lahir pada era Orde Baru, kamu mungkin hanya mendengar selentingan tentang penyalahgunaan kekuasaan militer, sampai contoh konkretnya bisa kamu baca dalam Entrok (Okky Madasari), Namaku Alam (Leila S. Chudori), dan Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari).

Meski tidak sepenuhnya akurat dan holistik, novel-novel fiksi sejarah akan mendorong pembacanya untuk memaksimalkan daya pikir kritisnya. Misal dengan kroscek fakta di balik referensi sejarah yang dipakai penulis, mencoba mengulik sendiri testimoni orang terdekat yang pernah hidup di masa itu, dan lain sebagainya. Peran mengembangkan daya pikir kritis terpenuhi, masih ditambah dengan peran melatih empati. Ini karena kita dipaksa melihat sejarah dari perspektif tokoh, lagi-lagi ini menghidupkan tanggal dan periode yang mungkin sebelumnya tak punya arti apa-apa buatmu.

Mulai sekarang, stop meremehkan orang yang belajar sejarah lewat buku fiksi. Tetap ingatkan diri kalau setiap orang punya cara masing-masing buat mengenal dan belajar sesuatu.

Sumber dari internet/idntimes.com

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5