
(Cerpen terinspirasi dari peribahasa: “Main air basah, main api hangus, main pisau luka.”)
Raka duduk di bangku taman kota, memandangi anak-anak kecil yang berlarian di bawah gerimis. Tangannya menggenggam sebuah buku catatan lusuh, dengan halaman-halaman yang penuh coretan. Matanya sayu, tapi sesekali bibirnya tersenyum kecil. Ia sedang mengenang—bukan sekadar masa kecil, tapi semua jejak kebodohan yang pernah ia buat.
Ia ingat waktu usianya baru tujuh tahun. Hujan deras mengguyur, dan ibunya melarangnya keluar.
“Kamu lagi flu, Raka. Jangan main air!”
Tapi Raka kecil bersikeras. Ia nekat keluar, menari-nari di bawah hujan, membiarkan pakaiannya kuyup dan tubuhnya menggigil. Malam harinya, demam menyerang hebat. Ia menggigil di balik selimut, dan ibunya hanya bisa mengusap pelipisnya sambil mengeluh, “Main air, ya basah. Sudah dibilang…”
Waktu SMP, rasa ingin tahu Raka semakin liar. Ia penasaran dengan korek api yang ditemukan di dapur. Disulutnya berulang-ulang, senang melihat percikan kecilnya. Sampai akhirnya sepotong kain lap terkena percikan dan terbakar.
“Astaga, Raka!” Ibunya menjerit, buru-buru menyiramkan air ke api yang mulai merambat ke meja.
Ayahnya datang dengan tatapan tajam.
“Main api, ya hangus, Ka. Kamu kira ini mainan?”

Namun, semua itu belum seberapa dibandingkan ulahnya saat SMA. Saat itu, tren media sosial sedang menggila. Tantangan, prank, sensasi—semuanya demi viewer dan like. Raka tergoda. Ia ingin terkenal. Ingin viral. Ia dan temannya membuat video prank pura-pura mencuri tas dari pengendara motor di jalan kecil. Tapi si pengendara kaget, refleks menjatuhkan diri, dan kepalanya terbentur aspal.
Video itu viral—bukan karena lucu, tapi karena membuat geram. Wajah Raka tersebar ke mana-mana, dan polisi datang mengetuk pintu rumahnya malam itu juga.
Di ruang interogasi, kepala Raka tertunduk. Tangannya gemetar. Ia ingin mengatakan bahwa semua itu hanya demi konten, bahwa ia tak bermaksud melukai siapa pun. Tapi apa arti niat baik jika perbuatanmu sudah melukai?
“Main pisau, ya luka,” kata salah satu penyidik, menatapnya tajam. “Kadang bukan hanya dirimu yang berdarah.”
Tim GoKreaf/ChatGPT

