
Arief adalah pemuda yang dikenal ramah, murah senyum, dan… murah janji. Setiap kali teman-temannya butuh bantuan, ia selalu menjawab dengan kalimat andalannya:
“Tenang, gua bantuin!”
“Gampang itu, nanti gue urus.”
“Udah, percaya aja sama gua!”
Awalnya semua orang menyukai sifatnya yang tampak ringan tangan. Tapi satu per satu kecewa.
Ketika Fadil meminta tolong dicarikan kerja sambilan, Arief berjanji akan menghubungkan dengan pamannya. Seminggu berlalu, ponsel Arief tak kunjung menjawab.
Ketika Lela, adik kelas yang ingin belajar skripsi, diminta datang ke kafe karena katanya Arief akan bantu, yang muncul justru hujan deras—tanpa kabar dari Arief.
Yang paling parah adalah janjinya pada Pak Darto, tetangganya yang kesulitan membayar listrik. Arief bersumpah akan membayarkan dulu tagihannya karena katanya “lagi banyak rezeki.” Tapi ternyata, ia justru menghilang, dan tagihan listrik naik jadi dua bulan.

“Anak itu murah di mulut, tapi mahal di timbangan,” gumam Pak Darto sambil menatap gelapnya rumah.
Sampai suatu hari, Arief butuh pertolongan. Motornya mogok di tengah jalan malam-malam. Ia menghubungi satu per satu temannya. Tak ada yang menjawab. Fadil membaca pesannya, lalu mengabaikan. Lela hanya berkata, “Maaf, lagi sibuk.” Bahkan Pak Darto pun tak menggubris sapaan Arief di gang.
Barulah saat itu Arief merasa benar-benar sendiri.
Janji-janji yang dulu ia umbar seperti daun kering yang gugur tanpa arah.
Ringan diucapkan, tapi nyatanya berat saat dibutuhkan.
Di tengah malam yang sunyi, Arief duduk di pinggir jalan, menatap sepi, dan berkata pada dirinya sendiri,
“Mungkin sekarang baru aku paham… beratnya timbangan yang dulu kuabaikan.”

