
Pengantar: Fiksi mini versi Gol A Gong adalah cerita pendek antara 300 – 500 kata, 1 lokasi, dan twist ending (plot twist). Jika pun pindah lokasi, itu hanya ada dalam dialog. Di fiksi mini berjudul “Labuan Bajo” lokasinya outdoor di waterfront city Labuan Bajo. Tokohnya aku yang bernama Dewi – pemilik banyak cafe yang sedang travel-holiday dan Sandra yang baru keluar dari penjara. Selamat membaca dan rasakan twist endingnya (cerita yang diplintir).

LABUAN BAJO
Fiksi Mini Gol A Gong
Sudah sejam aku duduk di waterfront city Labuan Bajo. Sungguh tempat ini jadi berubah keren. Terakhir ke sini lima tahun lalu. Aku seperti sedang berada di kapal pesiar Titanic.
Aku kangen traveling. Rutinitas sebagai boss beberapa café di Jakarta membuatku tua di dapur. Labuan Bajo titik pertama sebelum menyusuri NTT lewat darat; Ruteng yang dingin, singgah di Rumah Bung Karno Ende dan danau Kelimutu, Rumah adat Ngada Bajawa, gereja tua Larantuka, berburu ikan paus di Lembata dan menyeberang ke Kupang!
Untuk mengusir bosan sejak tadi aku menghitung kapal-kapal kayu yang siap mengajak para turis berlayar menuju Pulau Komodo. Para kelasi mudanya bertelanjang dada. Konon cewek bule banyak yang terpikat, membawa pulang mereka sebagai “souvenir” ke Eropa.
Tiba-tiba anak kecil muncul. Kaosnya jersey timnas sepakbola Indonesia dengan nomor 7.
“Hello, Marselino!”
Anak kecil itu tersenyum.
“Siapa namamu?”
“Marselino!”
“Oh, pantesan kaosmu nomor tujuh!”
“Aku juga nanti pingin seperti Kakak Marselino!” Aku mengangguk kagum. “Nggak sekolah?”
“Sekolah siang. Kelas tiga.”
“Itu apa?” Aku menunjuk amplop putih di tangannya.
“Surat buat Mbak…”
“Buat aku?” Aneh. Aku langsung mengambil surat itu.
“Kata Masnya, jangan pergi kalau Mbak belum ngasih tip.”
“Masnya? Mas yang mana?” Aku semakin heran. Tapi kemudian merogoh tas pinggang tempat biasa menyimpan handphone, dompet, paspor, dan uang recehan.
“Makasih, Marselino!” Aku serahkan selembar dua puluh ribuan. Anggap saja si Ferdinan ini kurir GoSend.
Marselino menerima uang dariku dan langsung berlari melompat-lompat kegirangan.
Sambil berdiri aku buka amplop yang tidak dilem itu. Ada selembar kertas bergaris – yang aku yakin dengan sembarangan merobeknya:
Kamu lemparkan pandangan ke arah pukul 11. Ada café Komodo. Aku sedang menatapmu dan melambaikan tangan. Pertanyaannya: bolehkah aku duduk di sebelahmu?
Sudah satu jam kamu sendirian di sana. Barangkali aku bisa mengusir kegelisahanmu.
Begitu bunyi tulisan tangan di surat itu. Sok tahu! Siapa yang gelisah! Aku justru sedang menikmati keindahan alam! Bahagia, tahu!
Aku ragu-ragu mau melihat ke posisi pukul 11.00. Hotel tempatku menginap persis di sebelah café Komodo.

Daripada jadi misteri dan penasaran seumur hidup, akhirnya aku putuskan untuk melihat ke café Komodo.
Tapi, tidak ada siapa-siapa! Di sana memang banyak orang. Aku penasaran; aku maju beberapa Langkah. Tapi juga tidak ada lelaki yang melambaikan tangan kepadaku! Bullshit! Ini prank! Ya, pasti kerjaan Gen Z untuk content medsosnya!
Aku pastikan lagi menatap café Komodo. Siapa tahu di sana ada tim content creator yang sedang mengarahkan kamera kepadaku! Jangan main-main kalian dengan single parent dan wonder woman sepertiku. Sebagai Wanita berumur 40 tahun, aku sering dibuat pusing oleh anakku yang Gen Z.
Aku kitari pandangan hingga ke tempatku duduk tadi. Betapa kagetnya aku! Di sana duduk dengan tatapan tajam kepadaku seorang Perempuan berbadan kekar dan bertato di lengan kanannya dan mirip lelaki.
“Sandra!” pekikku cemas.
“Hello, Dewi! Tujuh tahun aku dipenjara gara-gara kamu!”
Tubuhku gemetar. Sandra adalah teman sekampusku. Pada suatu malam, saat pesta reuni, dia memaksaku! Aku memang tidak menikah lagi setelah suamiku tewas tabrakan maut di jalan tol. Tapi aku tidak akan jadi lesbi seperti Sandra! Aku berlari mencari perlindungan. Labuan Bajo langsung aku tinggalkan! (*)

