Di sebuah dusun kecil yang terlupakan peta, tinggalah Pak Sahli—seorang petani tua yang sehari-hari menggarap tanah warisan dari orang tuanya. Tanah itu kering, berdebu, dan sudah lama tidak menghasilkan apa-apa selain rumput liar. Orang-orang menyebutnya “cacing”, bukan karena hina, tapi karena kesederhanaan hidupnya yang membumi.

Pak Sahli tak pernah bermimpi menjadi kaya. Hidup baginya cukup: nasi, lauk tempe, dan secangkir kopi hitam tiap pagi.

Namun suatu hari, truk-truk besar berdatangan. Para lelaki berdasi turun dari mobil-mobil berkilau. Peta-peta digelar, laser dipasang, dan bendera-bendera merah putih ditancapkan di tanah-tanah yang dulu hanya diinjak sandal jepit. “Ini akan jadi jalan tol nasional, Pak. Tanah Bapak akan kami beli.”

Pak Sahli tak paham banyak, tapi angka-angka yang disebutkan membuatnya terdiam. Empat miliar rupiah. Untuk tanah kering yang bahkan tak bisa ditanami kacang.

Ia tanda tangan.

Hari berikutnya, hidup berubah. Anak-anaknya pulang dari kota. Istrinya tiba-tiba ingin jalan-jalan ke luar negeri. Rumahnya direnovasi jadi dua lantai dengan ornamen emas di pagar depan. Pak Sahli yang dulu naik sepeda onthel kini mengendarai mobil SUV yang bahkan tidak ia bisa parkir dengan benar.

Orang-orang mulai memanggilnya “Pak Haji Sahli”. Ia diminta jadi penasehat desa, diajak jadi komisaris koperasi, bahkan dilirik partai politik lokal.

Tapi, di balik semua itu, Pak Sahli merasa hampa. Ada sesuatu yang tertinggal di ladang lamanya. Sesuatu yang tak bisa dibeli: ketenangan.

Suatu malam, ia duduk di beranda rumah barunya, memandangi bintang yang sama dari langit yang berbeda. Di tangannya, secangkir kopi hitam, rasanya masih sama, tapi hatinya tidak.

“Aku bukan cacing lagi,” gumamnya, “tapi mungkin aku juga bukan naga.”

*) Tim GoKreaf/ChatGPT

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5