
Oleh: Naufal Nabilludin
Beberapa hari terakhir saya berjaga di posko mudik Baznas Banten. Mulai dari arus mudik, sampai sekarang di masa arus balik. Selama berjaga, saya melihat berbagai macam wajah dan cerita lewat begitu saja. Ada yang singgah sebentar, ada yang sempat tidur, ada juga yang mengobrol santai sambil menyeruput teh hangat.
Saat arus mudik, mereka datang dengan semangat—ingin cepat sampai rumah, bertemu keluarga, melepas rindu yang sudah ditahan lama. Ada kelelahan, tapi ada juga cahaya di mata mereka. Saya ikut merasa hangat melihatnya. Rasanya seperti ikut pulang, meskipun saya sendiri tak sedang mudik.

Lalu datang masa arus balik. Wajah-wajah yang sama kembali melintas, tapi kini dengan rasa yang berbeda. Rindu sudah sempat dituntaskan, tapi harus ditinggalkan lagi. Mereka kembali ke kota, ke rutinitas, ke tanggung jawab yang tak bisa ditunda.
Di posko ini, saya hanya bisa membantu sedikit—memberikan air minum, menunjukkan arah toilet, atau sekadar menyapa. Tapi saya belajar banyak dari singgah mereka. Tentang sabar, tentang lelah yang tidak banyak dikeluhkan, dan tentang semangat orang-orang yang pulang bukan hanya untuk berlibur, tapi untuk mengisi ulang tenaga sebelum kembali berjuang.
Kadang, saya duduk diam sambil melihat jalan raya. Motor-motor melaju dengan barang bawaan di belakang, mobil penuh anak-anak dan kardus oleh-oleh. Di tengah perjalanan panjang itu, posko ini jadi tempat rehat. Tempat untuk sekadar berhenti, menarik napas, lalu melanjutkan lagi.

Saya bersyukur bisa jadi bagian kecil dari perjalanan mereka. Tidak banyak yang saya lakukan, tapi saya tahu bahwa setiap singgah, sekecil apa pun, bisa berarti besar bagi yang sedang lelah. Dan mungkin, dalam perjalanan pulang dan kembali ini, kita semua sedang belajar: bahwa hidup memang tentang terus berjalan, tapi tidak apa-apa untuk berhenti sebentar.

