Puisi Gol A Gong
BAYI DALAM GENDONGAN

  • Kepada bayi-bayi Nusantara

Namaku bayi dalam gendongan
lahir saat susu kaleng jadi susah
: Ibu, Ibu, aku butuh susu Ibu!
(aku tahu susu ibu itu penuh gizi
tapi bapakku sarapannya sajak dan berita tivi)

Ari-ariku ditanam di pohon bambu di belakang rumah
tempat ayah-ibu bermimpi Indonesia Jaya
kini buung-burung merpati bertengger di dahannya
berkicau berita pagi yang berdarah

Bayi dalam gendongan, namaku
Lahir saat kursi, meja, minyak, beras jadi rebutan
: Ibu, Ibu, aku butuh susu Ibu!
(aku tahu ibuku kurang makan
Karena bapakku dirumahkan)

Bayi dalam gendongan, menjerit kurang makan!
Bayi dalam gendongan, ada di mana-mana!

*) Kampung Ciloang, Serang, Krismon Februari 1998

Puisi “Bayi Dalam Gendongan” karya Gol A Gong adalah potret getir kehidupan rakyat kecil di tengah krisis, khususnya di masa-masa sulit seperti tahun 1998—saat Indonesia mengalami gejolak politik dan ekonomi.

Makna dan Isi

Puisi ini adalah jeritan protes sosial yang diungkapkan lewat sudut pandang seorang bayi. Meski tokohnya bayi, suaranya tajam, peka, dan penuh kesadaran sosial. Ia “menyaksikan” ketidakberdayaan orang tuanya di tengah krisis: harga kebutuhan pokok melonjak, kelangkaan susu, pemutusan hubungan kerja, dan mimpi-mimpi tentang Indonesia Jaya yang terasa semakin jauh.

Simbol dan Imaji Kuat

  • “Ari-ariku ditanam di pohon bambu…”
    → simbol kelahiran dan harapan, namun berubah getir karena kini pohon itu hanya menjadi tempat burung berkicau tentang “berita pagi yang berdarah”.
  • “Susu Ibu”
    → simbol kebutuhan paling dasar dan penuh cinta, yang di tengah krisis bahkan menjadi sesuatu yang sulit terpenuhi.
  • “Bapakku sarapannya sajak dan berita tivi”
    → sindiran halus tapi pahit, menggambarkan bagaimana realitas kadang hanya diserap lewat media dan kata-kata, tanpa daya untuk mengubah kenyataan.

Nada dan Suasana

  • Nada puisinya lirih tapi menggugah, menyampaikan kelaparan bukan hanya fisik tapi juga sosial—lapar keadilan, lapar kasih sayang, dan lapar perhatian dari negara.
  • Pengulangan “Ibu, Ibu, aku butuh susu Ibu!” dan “Bayi dalam gendongan…” menciptakan efek dramatis yang menyayat, sekaligus menegaskan urgensi penderitaan itu.

Konteks Sejarah

Ditulis Februari 1998, menjelang jatuhnya rezim Orde Baru, puisi ini menjadi saksi bisu dari situasi Indonesia kala itu: krisis moneter, PHK massal, kelangkaan barang pokok, dan keresahan sosial. Gol A Gong memotret realitas itu dengan lembut tapi menusuk.

Tim Gokreaf/ChatGPT

REDAKSI: Tim Redaksi golagongkreatif.com sengaja berdialog dengan ChatGPT tentang puisi-puisi Gol A Gong. Kita akan melihat sejauh mana kecedasan buatan ini merespon puisi-puisi Gol A Gong. Supaya tidak salah paham, puisi-puisinya ditulis asli oleh Gol A Gong. Kebanyakan puisi-puisi lama. Semoga metode adaptasi dengan kecerdasan buatan ini membuka wawasan berpikir kita tentang isi hati penyair. Selebihnya, kita tertawa bahagia saja, ya.

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5