
Oleh Gabriel Firmansyah Harris
Ada banyak cara untuk berpindah dari Mekah ke Madinah, tapi hanya sedikit yang bisa menandingi kenyamanan dan kecepatan Haramain High-Speed Railway. Dengan kecepatan hingga 300 km/jam dan pemandangan gurun yang menakjubkan, perjalanan ini bukan sekadar perpindahan antar kota, tapi juga pengalaman spiritual yang dibungkus teknologi modern.
Pada 5 April 2025, saya dan istri memulai perjalanan dari hotel kami di Jalan Ibrahim Al-Khalil, Mekah menuju Stasiun Haramain Mekah. Kami naik taksi hijau. Meski argo terpasang dan menunjukkan tarif sekitar 30 riyal, sopir tetap meminta harga tetap—40 riyal. Ini salah satu hal yang cukup umum di Mekah dan jujur saja, sedikit mengganggu.


Kami tiba di stasiun sekitar pukul 11.00, mengejar jadwal kereta pukul 12.20. Bangunan stasiun terasa modern dan tenang, dengan arsitektur rapi dan fasilitas lengkap. Setelah naik eskalator, kami melewati deretan toko dan kafe. Tiket sudah saya cetak sejak Januari, seharga 170 riyal per orang (total 340 riyal untuk dua orang). Proses masuknya lancar, hanya saja saya sempat kecewa karena setelah memindai tiket, saya tidak diizinkan kembali ke bawah untuk membeli kopi. Sistem tiket hanya mengizinkan satu kali akses masuk.


Kami menunggu sekitar satu jam sebelum akhirnya kereta tiba. Kami naik ke gerbong 9, tempat duduk nomor 240 dan 241, kelas ekonomi. Kursinya nyaman, bisa direbahkan tanpa mengganggu penumpang di belakang, dengan interior bersih dan pencahayaan yang hangat. Saat memesan tiket, saya sudah memilih tempat duduk yang menghadap arah laju kereta. Tapi ternyata, posisi kursi kami justru berlawanan arah, dan tak lama setelah kereta melaju, saya mulai merasa pusing.

Akhirnya saya pindah ke kursi kosong di bagian belakang kereta, yang suasananya lebih tenang. Di sana, banyak penumpang yang duduk berhadapan, mayoritas keluarga. Setelah duduk di sana, rasa pusing saya hilang dan saya bisa menikmati perjalanan dengan lebih nyaman. Istri saya duduk di dekat jendela dan kami menikmati percakapan sambil melihat pemandangan di luar.

Sekitar 30 menit setelah keberangkatan, kereta berhenti sebentar di Jeddah. Karena kami khawatir tempat duduk yang kami tempati akan digunakan penumpang lain, kami kembali ke kursi asli. Dan benar saja, beberapa menit setelah transit, ada penumpang yang datang. Setelah semuanya stabil, kami kembali menempati dua kursi kosong lainnya.
Selama perjalanan, saya sempat mengunjungi kafetaria di gerbong 5. Ruangannya kecil, tidak ada tempat duduk seperti kafe pada umumnya. Pilihannya terbatas—roti, cokelat, dan minuman ringan. Bahkan sebagian barang hanya ditawarkan lewat kereta dorong yang dibawa oleh staf yang berjalan dari gerbong ke gerbong.

Yang paling memikat tentu saja pemandangan gurun yang mengalir di balik jendela. Hamparan pasir yang luas, pegunungan bebatuan, ternak, dan unta yang sesekali muncul di kejauhan membuat perjalanan terasa seperti film dokumenter yang hidup. Tidak hanya cepat, tapi juga menenangkan secara batin.
Total perjalanan memakan waktu dua jam. Ketika sampai di Stasiun Haramain Madinah, suasananya hampir sama seperti di Mekah: bersih, tenang, dan modern. Belajar dari pengalaman sebelumnya, kami langsung memesan Uber. Dan ternyata pilihan itu sangat tepat. Uber hanya memakan biaya 10 riyal, sementara taksi biasa bisa mematok hingga 70 riyal. Dari stasiun ke hotel kami di Madinah hanya membutuhkan waktu sekitar 12 menit, dengan jarak kurang lebih 12 km.

Perjalanan ini sangat berkesan. Bukan hanya karena kecepatannya atau kenyamanannya, tapi karena maknanya. Dari tanah suci tempat Ka’bah berada, menuju kota Nabi yang penuh sejarah dan kedamaian. Ada rasa haru ketika meninggalkan Mekah, tapi juga ada harapan dan ketenangan saat tiba di Madinah.
Bagi siapa pun yang merencanakan perjalanan antara dua kota suci ini, saya sangat merekomendasikan Haramain Railway. Pesan tiket lebih awal, cetak fisiknya, dan instal aplikasi Uber untuk pengalaman yang lebih nyaman. Karena ini bukan sekadar perjalanan, tapi bagian dari cerita spiritual yang akan selalu dikenang. Sampai jumpa di cerita berikutnya.
*) Madinah 5 April 2025, Penulis Mahasiswa S2 Mohamed bin Zayed University for Humanities





