Bercermin pada Rembulan: Kisah-Kisah Tentang Menemukan Cahaya dalam Diri

Di suatu sudut langit, ada rembulan yang tak pernah malu pada bayang-bayangnya. Ia
menerima bahwa separuh dirinya selalu gelap, tapi separuh lainnya tetap bersinar. Kumpulan
puisi ini adalah cermin dari perjalanan itu: belajar mencintai diri bukan sebagai sosok
sempurna, tapi sebagai kepingan-kepingan yang utuh dalam ketidakutuhannya.

Di sini, kita tak akan menemukan mantra-motivasi instan atau janji kebahagiaan yang
dipaksakan. Yang ada hanyalah kata-kata yang merangkul luka, bisikan yang mengajakmu
berdamai dengan masa lalu, dan cahaya kecil yang mengingatkan: “Kau boleh retak, asal tak
lupa bahwa retakan itu adalah jalan bagi cahaya untuk masuk.” Kumpulan puisi ini berisi
tentang diri yang berdamai dengan berbagai masalah yang datang.

Kumpulan puisi ini bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang berani hidup dalam
ketidaksempurnaan. Setiap bait adalah pelukan untuk diri yang lelah, bisikan untuk hati
yang ragu, dan tarian untuk jiwa yang baru belajar terbang.

“Kita semua adalah karya seni yang belum selesai. Dan justru di situlah letak keindahannya.”

Noorma Paramitha

Puisi Noorma Paramitha
Rumah Tanpa Jendela

Di rumah tanpa jendela, waktu mengkristal
Mimpi-mimpi menggantung di langit-langit usang
Seperti jamur yang tumbuh di tembok lembap
Beban generasi mengunyah tulang-tulang malam

Aku terjepit di antara dua cermin retak:
Yang satu memantulkan ibu yang menua
Yang lain, anak-anak yang meregangkan tangan
Aku adalah penjara sekaligus tahanan
Kunci rumah ini ada di tanganku sendiri

Jendela hati tertutup oleh tirai angka
Tagihan, obat-obatan, dan daftar belanja
Kadang ingin kusobek kalender ini
Lari ke hutan yang tak punya nama

Tapi langkahku terikat benang-benang
Yang kau sebut “tanggung jawab”
Benang itu mengalir dari nadi
Menjadi tali pusar yang tak pernah kau potong

Haus akan cinta?
Aku sudah lupa rasa air
Yang tersisa hanya garam di pelupuk mata
Dan tubuh yang menua dalam daftar tunggu

Di rumah tanpa jendela ini
Kadang kudengar langit mengetuk
Tapi tak ada yang berani membuka pintu
Karena kita semua tahu:
Angin kebebasan bisa menerbangkan atap
Apakah kita korban keadaan atau aktor yang memilih terjebak?

Semarang, Februari 2025

oOo

Puisi Noorma Paramitha
Jejak yang Bersinar Dalam Badai

Luka menganga bagai jurang yang bersuara
Memanggilku jatuh, tapi kukepal pasir waktu
Di mana butir-butirnya mengalir di sela jari
Menjadi nisan untuk setiap rasa hampir menyerah

Cobaan datang bagai hujan meteor
Menghantam atap jiwa yang telah retak
Di sini, logika merangkak di tepian sumur
Dan raga menjerit: “Batasmu hanya ilusi”

Sejenak kutoleh ke belakang:
Jejak langkahku adalah sungai yang membeku
Mengalir dari gunung-gunung air mata
Menuju laut yang kau sebut “akhir”

Tapi aku masih mendengar gemuruh
Di balik tumpukan luka yang kususun jadi tangga
Keringatku mengkristal jadi peta
Kubaca garis-garisnya di bawah cahaya bulan

Aku sudah sejauh ini
Ulangku pada angin yang membawa debu perjalanan
Tak ada kata berhenti untuk langkah yang belum selesai
Karena akhir yang kau maksud hanyalah awal
Dari cerita lain yang kutulis dengan parut-parut waktu

Semarang, Februari 2025

oOo

Puisi Noorma Paramitha
Bara dalam Katalog Reruntuhan

Malam mengunyah sunyi,
Hatiku adalah museum tanpa pengunjung
Di setiap sudut, identitas tergeletak
Seperti kaca pecah memantulkan bayangan-bayangan asing
Di lantai marmer retak bernama keraguan

Dulu, mimpi-mimpiku adalah kota
Dengan menara menjulang dan taman berbunga
Kini hanya tersisa peta usang
Dan reruntuhan yang kusebut kenangan
“Setelah ini apa?”
Gema itu mengetuk dinding-dinding waktu
Seperti hujan meteor menghantam kubah jiwa

Tubuhku adalah kapal yang kehilangan bintang
Terombang-ambing di samudera tanpa nama
Di mana ombak-ombak adalah pertanyaan
Yang menggerogoti lunas kayu harapan
Tapi di dasar palung paling kelam
Kudengar detak jantung bumi
Bara kecil itu masih bernapas
Menyulut reruntuhan jadi api unggun
Untuk menghangatkan tangan-tangan yang kedinginan

Semarang, Februari 2025

oOo

Puisi Noorma Paramitha
Penonton yang Menjadi Lentera

Senyumnya bagikan neon yang membutakan
Kata-kata beracun merayap seperti akar di retakan
Menghujam ke tanah hati yang sudah kering
“Teduh” hanyalah kamuflase untuk luka yang dikubur
Ia mainkan peran korban dengan naskah terlatih
Di atas panggung yang basah oleh air mata sintetis

Setiap air matanya adalah kristal buatan
Yang memantulkan wajah-wajah kita yang terluka
Fakta dipelintir jadi puisi
Di panggung bernama “Akulah yang tersakiti”
Kambing hitamnya adalah rembulan bisu
Yang tak bisa menunjuk ke arah kebenaran

Tubuhku lelah jadi penonton
Di teater di mana tirai tak pernah turun
Tapi hari ini kusobek tiket masuk
Kutulis ulang dialog dengan darahku sendiri
Racunmu kujadikan tinta untuk menggugat
Kubangun menara dari tulang-tulang kata yang kau patahkan
Di puncaknya, kukibarkan bendera dari kain-kain dustamu
Angin membawa suaraku:
“Sandiwara ini tamat.
Aku adalah sutradara bagi cahaya yang kau padamkan.”

Semarang, Februari 2025

oOo

Puisi Noorma Paramitha
Luka yang Menjadi Bahasa

Di setiap senyummu, kudengar jamur tumbuh
Pada celah-celah kata yang kau ucapkan
Kebaikanmu adalah kaca pembesar
Yang kugunakan untuk mencari retak di balik cahaya
Aku bagai kucing yang mencurigai tangan-tangan terulur
Mengendus setiap gerak, mengukur jarak aman
Bahkan kasih yang tulus kusambut dengan kuku waspada
Karena sejarah mengajariku: cakar sering bersembunyi di balik telapak

Aku telah belajar bahwa angan yang memegang bisa menjadi jerat
“Maaf” menjadi koin palsu, yang bergemerincing di kantong kepercayaan
Di sini, di museum ingatanku
Ada diorama wajah-wajah yang terkelupas
Tertempel di dinding dengan paku keraguan
Setiap tawa mereka adalah rekaman
Yang diputar ulang dengan nada peringatan
Ketika kau datang membawa bunga
Aku hitung kelopaknya satu-satu
Memastikan tak ada duri yang tersamar
Bahkan udara antara kita kusaring
Lewat saringan yang terbuat dari luka lama

Maafkan aku, jika mataku adalah kalkulator
Yang menjumlahkan setiap gerakmu
Jika telingaku adalah seismograf
Yang mencatat gempa kecil dalam nadamu
Kita semua mungkin korban
Dari meteor-meteor bernama manusia
Tapi di langit malam hatiku
Aku lebih memilih gelap
Daripada percaya pada bintang-bintang yang pernah jatuh

Semarang, Maret 2025

oOo

Puisi Noorma Paramitha
Karya-karya yang belum Selesai

Malam ini, pikiranku bagai kompas yang patah
Berputar di antara “nanti” dan “sekarang”
Membuat peta dari debu-debu kekhawatiran
Setiap langkah terasa seperti menulis di atas air

Aku tahu, bahkan bulan tak langsung purnama di hari pertama
Sungai pun tak meminta maaf karena berliku
Musim tak pernah memaksa bunga mekar sebelum waktunya
Tapi mengapa dadaku sesak oleh detak jam yang terburu-buru?

Di kebun impian, setiap benih punya kalendernya sendiri
Mawar tak iri pada matahari yang pagi itu terbit
Burung hantu tak malu pada elang yang lebih dulu terbang
Lalu mengapa aku menghitung tetes hujan
Seolah jumlahnya menentukan kapan musim semi tiba?

Izinkan aku belajar dari pepohonan
Yang diam-diam menyimpan lingkaran tahun dalam dirinya
Tak ada yang kurang dari pohon yang lambat bertumbuh
Justru di sana, kayu paling kuat tercipta
Mungkin nasibku adalah menjadi sungai kecil
Yang mengalir pelan, mengukir ngarai dengan kesabaran
Bukan ombak besar yang menghempas lalu surut
Karena yang abadi selalu memilih untuk bertahan

Aku sedang menulis surat untuk masa depan
Dengan tinta dari langkah-langkah perjuangan ini
Di setiap titik-titiknya kububuhkan:
“Tidak apa menjadi karya yang belum selesai
Asal kanvasnya tak berhenti kau warnai”

Semarang, Maret 2025

oOo

TENTANG PENULIS: Noorma Paramitha, lahir dan tinggal di Kota Semarang. Lulusan Biologi, Universitas Negeri Semarang yang saat ini menjadi karyawan swasta. Ia memiliki banyak ketertarikan pada banyak hal dan suka belajar hal baru. Travelling dan menulis merupakan bagian dari hobi yang dimilikinya. Ia sering membagikan aktivitasnya di Instagram dengan akun @dear_noormal.

PUISI MINGGU terbit setiap hari Minggu. Silakan mengirimkan 5 hingga 10 puisi tematik. Sertakan foto diri dan gambar atau foto ilustrasi untuk mempercantik puisi-puisinya. Tulis bio narasi dan pengantar singkat. Kirimkan ke email : gongtravelling@gmail.com . Ada uang pengganti pulsa Rp 300.000,- dari Denny JA Foundation. Sertakan nomor WA dan nomor rekening banknya.

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5