Oleh: Naufal Nabilludin

Libur Lebaran seharusnya menjadi momentum bahagia bagi masyarakat. Namun, tahun demi tahun, euforia ini selalu tercoreng oleh kabar yang berulang: pungutan liar (pungli) di tempat wisata. Salah satu yang menjadi sorotan tahun ini adalah Pantai Carita di Kabupaten Pandeglang, Banten.

Sebuah jembatan bambu dibangun secara tidak resmi dan wisatawan diminta membayar Rp5.000 hanya untuk melintasinya. Aksi ini viral di media sosial dan akhirnya aparat turun tangan. Namun ironisnya, kasus seperti ini bukanlah hal baru. Ia seolah menjadi “tradisi kelam” dalam industri pariwisata kita—datang dan pergi tanpa penyelesaian yang tuntas.

Fenomena pungli di tempat wisata menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya bersalah? Mudah untuk menuding pelaku yang menarik uang secara ilegal. Namun, jika kita menelisik lebih dalam, pungli hanyalah gejala dari penyakit yang lebih kronis: kegagalan tata kelola pariwisata yang berpihak pada masyarakat lokal.

Pemerintah daerah sebagai pemangku kebijakan utama sering kali gagal menciptakan sistem pengelolaan wisata yang terstruktur dan adil. Objek wisata dibuka, promosi dilakukan, tapi masyarakat sekitar—yang notabene adalah tuan rumah dari destinasi itu—sering kali tidak dilibatkan secara layak.

Tidak ada sistem tiket resmi, tidak ada pengelola profesional, dan tidak ada alur pengawasan yang jelas. Celah ini kemudian dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk mencari keuntungan pribadi. Dalam banyak kasus, pungli bahkan diketahui oleh aparat atau perangkat desa, namun dibiarkan begitu saja.

Pihak keamanan pun tak luput dari sorotan. Penindakan baru dilakukan ketika kasus sudah viral dan mencoreng nama daerah. Ini menandakan bahwa pengawasan tidak dilakukan secara proaktif. Satpol PP, Polsek setempat, hingga Dinas Pariwisata seakan tidak hadir dalam menjaga wajah tempat wisata. Ketidakhadiran negara dalam skala mikro seperti ini memperparah ketidakpercayaan publik terhadap aparat dan institusi.

Namun di balik semua itu, ada satu pihak yang sering dilupakan: masyarakat lokal itu sendiri. Mereka yang tinggal di sekitar objek wisata mestinya menjadi penerima manfaat utama dari geliat pariwisata.

Tapi dalam banyak kasus, mereka justru tersisih. Tidak dilibatkan, tidak diberdayakan, dan tidak mendapat ruang untuk tumbuh bersama destinasi yang ada di halaman rumah mereka. Ketika saluran formal tak tersedia, sebagian dari mereka memilih jalur informal—termasuk melakukan pungli—sebagai bentuk perlawanan atau cara bertahan hidup. Ini bukan pembenaran atas pungli, tapi pemahaman bahwa kejahatan kecil sering kali lahir dari ketimpangan struktural yang lebih besar.

Maka penyelesaian kasus pungli tidak bisa sekadar dengan menangkap pelaku dan memasang spanduk “Bebas Pungli.” Harus ada pendekatan dari hulu ke hilir: mulai dari penataan ulang tata kelola wisata, pelibatan aktif masyarakat lokal, pembentukan sistem pengawasan yang tegas, hingga pemberdayaan ekonomi berbasis komunitas.

Pemerintah daerah bisa menginisiasi koperasi wisata, membuka pelatihan kerja di sektor pariwisata, dan memastikan warga sekitar menjadi bagian dari pengelolaan resmi objek wisata. Dengan begitu, masyarakat tidak hanya menjadi penonton atau pengganggu, tapi menjadi pelaku utama dalam ekosistem pariwisata.

Pungli di tempat wisata bukan sekadar masalah hukum, tapi masalah keadilan sosial. Selama masyarakat lokal tidak diberdayakan, selama pengelolaan wisata tidak berpihak kepada mereka, maka pungli akan terus datang menyambut musim liburan.

Dan kita, sebagai bangsa, akan terus gagal merayakan potensi besar wisata lokal sebagai sumber kesejahteraan yang merata.

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5