
Saya hingga hari ini belum, bisa mengerti kenapa ada orang-orang yang tidak sependapat dengan pemain diaspora yang kemudian dinaturalisasi. Bahkan ada yang menolak. Mereka merasa tidak bangga dengan pencapaian Timnas Sepak Bola Indonesia U23 yang lolos ke semifinal Piala Asia 2024 – hampir lolos ke Olimpiade Paris 2024 dan Timnas Senior yang lolos ke ronde 3 Grup C Asia Kualifikasi Piala Dunia 2026.


Seperti halnya Towel yang berisik, begitu juga Anton Sanjoyo – pengamat sepak bola, yang merasa tidak bangga dan memasalahkan, bahwa mestinya jangan pemain naturalisasi yang dominan di Timnas Senior. Ini memang jadi subjektif, terlalu mengandalkan perasaan. Mereka itu diaspora atau pemain yang memiliki keturunan darah Indonesia. Mereka memilih jadi WNI karena Indonesia secara politik sekarang membuka diri dan Ketua Umum PSSI-nya, Erick Thohir sudah berpikir global dan dikenal luas di persepakbolaan dunia. Pernah jadi Boss Inter milan – klab bola tajir di Italia. Hal penting lagi, PSSI sudah transparan, menolak mafia bola yang sudah membelit sepak bola Indonesia hingga terpuruk.

Jay Idzes sudah menegaskan, “Saya bukan orang luar yang membela Indonesia, tapi saya orang Indonesia yang pulang untuk membela negara Indonesia.”. Ya, Idzes itu pemain diaspora, yaitu orang yang memiliki ikatan darah dengan suatu negara, tetapi lahir dan besar di negara lain. Sedangkan naturalisasi adalah proses hukum yang dilakukan warga negara asing (WNA) untuk menjadi warga negara Indonesia (WNI).Â

Didi Riyadi, pemain drum band Elemen lebih tidak berwawasan lagi. Asal bunyi. Dia lupa bahwa persoalan naturalisasi untuk timnas di setiap negara diperbolehkan Statuta FIFA dan sudah jadi fenomena dunia. Timnas Perancis lebih dikenal dengan sebutan “Legiun Asing”. Indonesia itu ketinggalan dan lebih asik di kandang, ribut antar pemain di lapangan, ribut antar wasit dan pelatih dalam hal pengaturan skor, dan memelihara kericuhan antar pendukung dengan fanatisme semu.
oOo
Erick Thohir bukan orang bodoh apalagi picik. Saya juga bukan orang bodoh apalagi picik. Para pendukung Timnas Indonesia juga bukan orang bodoh apalagi picik. Saya maksudkan picik di sini adalah orang-orang yang tidak luas pandangan, pengetahuan, dan pikirannya tentang sepak bola global. Naturalisasi ini sudah jadi fenomena. Apalagi naturalisasi versi Indonesia ini didominasi oleh diaspora. Ada yang keturunan Medan, Jawa, Makassar, Maluku, NTT, dan Aceh.

Kami sudah hidup puluhan tahun bersama kebobrokan organisasi PSSI yang tidak becus mengurus ekosistem sepak bola Indonesia sebelum era Erick . Banyak talenta pemain sepak bola Indonesia yang mestinya bisa mendunia layu sebelum berkembang karena ketidakmampuan pengurus PSSI. Itu sebab dulu ada dualisme sepak bola Indonesia dikomandani Arifin Panigoro, yang menggelar Liga Primer Indonesia (LPI). Saya termasuk pendudukung LPI dan beberapa kali menonton pertandingan mereka.



Mengutip KumparanBola, Liga Primer Indonesia berlangsung singkat selama Januari-Mei 2011. LPI diselenggarakan oleh badan bernama Konsorsium PT Liga Primer Indonesia Sportindo yang dimotori oleh Arifin Panigoro. Mereka tidak berafiliasi dengan PSSI. Saat itu, situasinya sedang terjadi kisruh di tubuh PSSI dengan terbentuknya Komite Normalisasi (KN) PSSI oleh FIFA. KN secara resmi tidak mengakui LPI sebagai liga yang berjalan di bawah pengawasan PSSI.

Namun, sejarah berbicara bahwa kompetisi ini tetap berjalan. Kala itu, LPI memiliki tim peserta dengan nama-nama unik seperti Jakarta FC, Medan Chiefs, Batavia Union, Bali De Vata, Semarang United, Minangkabau FC, Aceh United, Bintang Medan, Bogor Raya, Solo FC, Bandung FC, Real Mataram, Manado United, Tangerang Wolves, dan Cendrawasih Papua.

oOo
Erick sudah menganalisis sejarah kelam sepak bola Indonesia. Dia mulai memasang strategi jangka pendek di eranya – 2023-2027. Dia sadar, jika untuk level internasional masih menggunakan pemain yang lahir dari Liga Indonesia, sampai kiamat pun tidak akan bisa beranjak. Ini semacam benchmark untuk para boss klab Liga 1 agar pelatih dan pemainnya memiliki patokan atau tolok ukur yang jelas hendak ke mana.

Para pemain Timnas Sepak Bola untuk pertandingan internasional sekelas Piala Asia atau Piala Dunia adalah pemain terbaik, tidak peduli dia merumput dan ditempa di klab mana. Jadi timnas sepak bola negara mana pun yang maju bertanding di laga internasional bukan lagi mewakili klab tapi negara.
Tentu Didi Riyadi tidak paham, bahwa pembatasan itu berlaku di Liga 1, bahwa Pada musim 2024/2025, setiap klub Liga 1 Indonesia diperbolehkan memiliki hingga 8 pemain asing. Aturan ini berlaku sejak 2 Agustus 2024. Nah, para pemain terbaik di Liga 1-lah nanti yang bersaing untuk bisa lolos ke Timnas Sepak Bola Indonesia segala umur.




Lihat Marselino, Rizki Ridho, Egi Maulana Vikri, Witan Sulaeman, Ricky Kambuaya, Choki Caraka, Ramadan Sananta, Septian Bagaskara, Asnawi Mangkualam, bersaing keras, tidak cengeng. Mereka bisa jadi tolok ukur atau patokan bagi para boss dan pelatih klab-klab Liga 1 atau anak-anak muda Indonesia yang bermimpi membela negara bersama Timnas Sepak Bola Indonesia senior di kancah dunia! Kita nyanyikan lagu Indonesia Raya di seluruh stadion sepak bola dunia!
Gol A Gong




