Namaku Nara. Sejak kecil, aku selalu dikelilingi banyak orang. Tapi, seiring waktu, aku sadar: tidak semua yang hadir bisa disebut sahabat, dan tidak semua sahabat itu sama jenisnya.

Pertama, ada Dian, sahabat masa kecilku. Kami tumbuh di gang sempit yang sama, bermain layangan dan petak umpet sampai matahari tenggelam. Kini, kami kuliah di kota berbeda. Jarang bertemu, tapi sekali video call, tawa kami tetap sama. Dian adalah rumah, meski kami berjauhan.

Lalu, ada Bayu, si tukang ngomel. Dia bisa marah besar hanya karena aku lupa sarapan atau telat balas chat. Tapi dialah yang paling panik kalau aku sakit. Kadang ngeselin, tapi aku tahu, itu caranya mencinta.

Rani adalah sahabatku yang berbeda karakter. Dia ekstrovert parah, penuh warna dan spontanitas, sedangkan aku lebih suka diam dan merencanakan. Tapi saat kami bareng, selalu ada tawa. Dia membuatku hidup, dan aku membuatnya tenang.

Di tempat kerja magang, aku bertemu Salsa, sahabat musiman. Kami sangat dekat saat proyek besar berlangsung. Tukar cerita, makan siang bareng, saling jaga. Tapi setelah proyek usai, komunikasi kami menipis seperti embun pagi. Aku rindu, tapi aku paham: mungkin dia hanya bagian dari satu musim dalam hidupku.

Ada juga Kevin, sahabat yang memacu ambisiku. Kami saling dorong untuk jadi lebih baik—nilai tinggi, lomba debat, CV keren. Tapi di balik persaingan itu, ada rasa saling menghargai. Kami bersaing bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk tumbuh bersama.

Suatu malam, saat aku merasa dunia terlalu sunyi, ada satu chat masuk. Dari Ina, sahabat online yang belum pernah kutemui. Kami bertemu di forum buku, dan sejak itu, jadi tempat curhat satu sama lain. Anehnya, dia mengerti aku lebih dari beberapa orang yang pernah kupeluk secara nyata.

Tapi tidak semua hubungan indah. Aku pernah punya sahabat bernama Tiara, yang ternyata diam-diam menyebarkan rahasiaku. Aku belajar tentang sahabat toksik dari dia—dan belajar untuk menjaga diriku lebih baik.

Dan di antara semuanya, ada Ayla, sahabat sejati. Tidak banyak kata, tidak banyak janji. Tapi dia ada. Saat aku patah, saat aku hancur, saat aku merasa dunia menolakku. Dia duduk di sampingku, tanpa menghakimi. Kadang hanya diam, tapi itulah kehadiran yang menyelamatkan.

Lingkaran persahabatan memang beragam. Tidak ada yang sama. Tapi semuanya membentukku—dengan luka, tawa, pelajaran, dan kenangan. Dan aku bersyukur… pernah mengenal mereka, masing-masing dengan perannya sendiri.

Tim GoKreaf/ChatGPT

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5