Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah menghijau, tinggalah sebuah keluarga sederhana: Pak Darto, Bu Rini, dan ketiga anak mereka — Raka, Nisa, dan Dini. Meski hidup pas-pasan, rumah mereka selalu penuh canda, tawa, dan kehangatan.

Suatu hari, Raka pulang sekolah dengan wajah lesu. Ia duduk diam di pojok rumah, tak seperti biasanya yang langsung membantu ibu menyapu atau bermain bersama adik-adiknya. Bu Rini menyadarinya dan perlahan mendekat.

“Ada apa, Nak?” tanya Bu Rini sambil mengelus kepala Raka.

Raka menunduk. “Aku nggak lulus seleksi beasiswa, Bu… Aku takut Ayah dan Ibu kecewa. Biaya sekolah nanti gimana?”

Mendengar itu, hati Bu Rini serasa ditusuk. Tak lama, Pak Darto yang baru pulang dari ladang pun ikut duduk di dekat Raka.

“Nak, dalam keluarga ini, tak ada yang berjalan sendiri. Kalau satu terluka, yang lain ikut merasakannya. Tapi justru karena itu, kita bisa saling menguatkan,” kata Pak Darto dengan suara tenang.

Nisa dan Dini pun ikut duduk, memeluk kakaknya. Meski masih kecil, mereka mengerti bahwa kakak mereka sedang sedih. Dalam keheningan yang penuh makna, keluarga itu berkumpul — satu terluka, tapi semua ikut peduli.

Malam itu, mereka duduk melingkar, makan malam dengan sayur bening dan ikan asin. Bukan soal apa yang dimakan, tapi hangatnya kebersamaan yang membuat semuanya terasa cukup.

Di tengah keterbatasan, mereka membuktikan bahwa kasih sayang adalah pelita di tengah gelapnya masalah.

Tim GoKreaf/ChatGPT

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5