Oleh: Rabi’atul Adawiyah, Salsabila Al-Faatin, Yeni fungky Sihite

“Setiap anak berhak atas masa kecil yang aman dan penuh kasih. Ketika lembaga penegakan hukum gagal melindungi anak-anak dari eksploitasi, kita tidak hanya melanggar hak mereka, tetapi juga menghancurkan masa depan bangsa.”

Dr. Siti Nurjanah

Kami sangat setuju dengan kutipan Dr. Siti Nurjanah. Dalam cerpen “Seorang Nenek Tua” karya W.S. Rendra, kita melihat bagaimana Kadir, seorang anak yang seharusnya menikmati masa kecilnya, terpaksa bekerja untuk membantu neneknya yang sakit. Situasi ini mencerminkan kegagalan lembaga penegakan hukum dalam melindungi hak-hak anak dari eksploitasi ekonomi.

Ketika lembaga penegakan hukum tidak berfungsi dengan baik, anak-anak seperti Kadir terjebak dalam siklus kemiskinan dan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini tidak hanya merugikan individu, tetapi juga berdampak negatif pada masa depan bangsa.

Anak-anak adalah generasi penerus yang akan membangun masyarakat, dan jika mereka tidak dilindungi, kita berisiko kehilangan potensi besar yang dapat mereka tawarkan.

Tujuan dari perlindungan hak anak ini adalah untuk memastikan bahwa setiap anak dapat tumbuh dalam lingkungan yang aman, mendapatkan pendidikan yang layak, dan memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi mereka.

Lembaga penegakan hukum harus mengambil langkah konkret, seperti menerapkan undang-undang yang melarang pekerja anak, menyediakan program bantuan sosial bagi keluarga miskin, dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan anak.

Dengan melindungi anak-anak dari eksploitasi, kita tidak hanya menghormati hak mereka, tetapi juga berinvestasi dalam masa depan yang lebih baik bagi bangsa kita.

William S. Rendra, yang lahir pada 7 November 1935 di Solo, Jawa Tengah, adalah seorang sastrawan, penyair, dan dramawan Indonesia yang terkenal. Ia meninggal pada 30 Agustus 2009 di Depok, Jawa Barat. Rendra menyelesaikan pendidikan di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dan sempat melanjutkan studi di Universitas Indonesia serta belajar di Amerika Serikat.

Ia dikenal sebagai pendiri Teater Kecil di Yogyakarta pada tahun 1968, yang menjadi salah satu teater terkemuka di Indonesia. Selain menulis puisi, cerpen, dan naskah drama, Rendra juga aktif dalam berbagai kegiatan seni dan budaya.

Beberapa karya terkenalnya antara lain “Buku Harian Seorang Perempuan,” “Sajak-sajak,” dan “Lagu-lagu Perjuangan,” serta cerpen “Seorang Nenek Tua,” yang menggambarkan kehidupan masyarakat dan isu-isu sosial. Rendra menerima berbagai penghargaan atas kontribusinya dalam dunia sastra, termasuk Anugerah Sastra dari pemerintah Indonesia. Karya-karyanya seringkali mengangkat tema kemanusiaan, kritik sosial, dan keindahan bahasa, dengan gaya penulisan yang puitis dan mendalam. Ia dikenang sebagai salah satu sastrawan terkemuka di tanah air yang meninggalkan warisan signifikan dalam sastra Indonesia.

Dalam cerpen ini menunjukkan bahwa meskipun Kadir tidak bekerja secara formal, ia terlibat dalam aktivitas yang berisiko, seperti mencatut karcis bioskop. Hal ini mencerminkan kurangnya perlindungan hukum bagi anak-anak yang seharusnya dilindungi dari eksploitasi kerja. Gambaran Kadir yang masih anak-anak, terpaksa bekerja untuk membantu neneknya tampak jelas dalam kutipan berikut:

  1. “Kadir mengusulkan supaya ia sendiri saja yang menjualnya layang-layang sementara itu neneknya bisa mencari pekerjaan tambahan lainnya.”
    (W.S Rendra)

Kutipan pertama ini menunjukkan bahwa Kadir merasa perlu untuk mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya tidak dipikul oleh anak seusianya. Selain Kadir yang terpaksa bekerja, ada juga keterbatasan akses pendidikan.

Kadir masih bersekolah, tetapi situasi ekonomi yang sulit membuatnya harus memilih antara pendidikan dan membantu neneknya. Ini menunjukkan bahwa lembaga penegakan hukum dan pemerintah perlu memastikan akses pendidikan yang layak bagi anak-anak, sehingga mereka tidak terpaksa bekerja. Berikut pada kutipan tersebut:

  1. “Kadir sudah tak berayah Ibu lagi lebih tepat ia sudah tak beribu lagi.”
    (W.S Rendra)

Kutipan kedua ini menekankan kondisi Kadir yang tidak memiliki dukungan keluarga yang memadai, sehingga ia harus berjuang lebih keras.

Jika kita menilik teori Hak Asasi Manusia (HAM), situasi yang dialami Kadir jelas bertentangan dengan Konvensi Hak Anak yang telah disepakati secara global. Pasal 32 dari konvensi tersebut menyatakan bahwa anak harus dilindungi dari pekerjaan yang berbahaya dan eksploitasi ekonomi.

Tetapi, dalam konteks cerpen ini, tidak ada intervensi dari lembaga hukum atau negara untuk membantu Kadir. Ia dibiarkan sendirian menghadapi kerasnya hidup, yang membuat kita bertanya-tanya: di mana peran negara dalam melindungi anak-anak seperti Kadir?

Namun, perlu juga dicermati bahwa W.S. Rendra tidak hanya sekadar ingin menampilkan tragedi individu semata. Ia, dengan gaya khasnya, ingin membuka mata kita tentang masalah sosial yang lebih besar.

Rendra seakan berkata bahwa ini bukan hanya kisah Kadir, tetapi juga kisah ribuan anak di Indonesia yang mengalami nasib serupa. Dengan kata lain, ini adalah kritik tajam terhadap sistem sosial dan hukum yang gagal melindungi kaum yang rentan.

Dalam konteks realitas Indonesia, fenomena pekerja anak masih menjadi masalah yang sulit diatasi. Berdasarkan data dari berbagai lembaga sosial, banyak anak di Indonesia yang bekerja bukan hanya untuk membantu keluarga, tetapi untuk bertahan hidup.

Pendidikan menjadi prioritas kesekian karena tuntutan ekonomi lebih mendesak. Ini menunjukkan bahwa hukum yang ada belum cukup kuat atau implementasinya masih lemah dalam menjamin hak-hak anak seperti Kadir.

Rendra menggunakan pendekatan yang sangat humanis. Ia tidak menuliskan cerpennya dengan nada menggurui, tetapi menyajikan cerita yang membuat pembaca merasakan langsung kesulitan yang dialami Kadir. Kita, sebagai pembaca, dibuat untuk ikut merasakan ketidakadilan yang dialami anak-anak dalam kondisi seperti ini.

Hal ini memperkuat daya kritis dari cerpen ini tanpa harus secara eksplisit menyalahkan pihak tertentu. Jika kita melihat cerpen “Seorang Nenek Tua” dengan sudut pandang yang lebih luas, kita tidak hanya membicarakan nasib Kadir semata, tetapi juga membicarakan kegagalan sistem dalam melindungi anak-anak yang seharusnya masih menikmati masa kecil mereka.

Ini adalah pukulan keras bagi kita semua, terutama bagi mereka yang berwenang untuk membuat kebijakan yang lebih berpihak pada anak-anak.

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5