
Pagi itu, langit masih muram. Awan gelap menggantung rendah, dan angin dingin menghempas wajah Arga. Ia melangkah pelan di jalanan berbatu yang licin dan penuh duri. Setiap langkah terasa berat. Sepatunya kotor, bajunya basah, dan tubuhnya lelah.
Namun Arga terus berjalan. Dalam hatinya, ada satu keyakinan: bahwa badai ini bukan akhir, hanya bagian dari perjalanan.
Di tengah jalan yang terjal itu, banyak yang menyuruhnya berhenti.
“Untuk apa susah-susah? Nikmati saja yang mudah.”
“Biar nanti saja mikir susahnya, sekarang jalanin aja.”
Tapi Arga tahu, jika ia tak tegas dari awal, jika ia menunda rasa pahit ini, maka kelak bisa jadi lebih getir.
Ia menolak jalan pintas, menolak janji manis tanpa dasar. Ia memilih menghadapi syarat-syarat, perjanjian, dan kenyataan yang tak menyenangkan… sekarang. Bukan nanti.
Hari berganti. Langit mulai terang. Batu-batu yang menghalangi kini digantikan oleh padang rumput yang hijau dan bunga-bunga yang bermekaran. Kupu-kupu beterbangan di sekitar dirinya. Sinar mentari menyambut langkah kakinya.

Wajah Arga kini tersenyum. Bajunya masih lusuh, tapi hatinya lapang.
Semua lelah dan pahit itu, kini terbayar. Ia melangkah ke dunia yang ia tahu—ia pantas mendapatkannya, karena ia berani menghadapi pahit di awal.
Dan di sana, di bawah langit yang cerah, Arga berbisik pelan:
“Lebih baik pahit di awal, daripada menyesal di akhir.”
Tim GoKreaf/ChatGPT

