
Kota tak pernah benar-benar tidur, hanya berganti wajah saat malam turun. Dan ketika lampu-lampu jalan menyala, Nocturno pun keluar. Ia berjalan dari satu trotoar ke trotoar lain, melebur dalam kelamnya malam, membawa harap yang ditambatkan pada sepasang mata kecil di rumah—putrinya, Lira.
Dulu ia perempuan biasa, istri yang setia, ibu rumah tangga yang selalu menyempatkan waktu untuk membuat sarapan. Tapi sejak suaminya berselingkuh dengan wanita muda dari kantor dan pergi begitu saja tanpa jejak, hidupnya terbalik. Gaji sebagai pramuniaga tak cukup, akhirnya malam jadi ladang rejeki.
Nocturno tak bangga pada pekerjaannya, tapi ia bangga bisa bertahan. Cutter kecil yang ia sembunyikan di bra bukan hanya untuk jaga-jaga—itu simbol perlawanan. Bukan hanya terhadap lelaki jahat, tapi juga terhadap nasib yang terus menerus mencabik harga dirinya.

Malam itu, hujan turun tipis ketika seorang pria berdasi mengajaknya bicara di depan sebuah hotel tua. Ia tampak sopan, malah agak pemalu. Katanya, hanya ingin ditemani minum. Ada sesuatu yang janggal dari caranya tersenyum, tapi Nocturno terlalu lelah untuk menolak rejeki.
Kamar 407. Bau pengap dan lampu temaram. Mereka bicara sebentar, hingga pria itu tiba-tiba menarik leher Nocturno dengan tali kulit dari balik jaketnya. Matanya kosong, seperti sumur tak berujung.
“Aku benci perempuan sepertimu,” gumamnya datar, sambil menarik talinya semakin kencang.
Nocturno meronta, dunia mulai kabur, suara menjadi gema jauh. Tapi instingnya menyalak. Ia merogoh ke dalam bra—cutter! Dengan satu gerakan panik, ia menyayat leher pria itu. Darah muncrat, membasahi sprei, dinding, bahkan wajahnya.
Ia lari keluar kamar, tubuh gemetar, cutter masih tergenggam. Petugas hotel menemukan jasad pria itu beberapa jam kemudian. Polisi datang, mengusut, lalu membuka tabir yang selama ini tersembunyi: lelaki itu adalah buronan, pembunuh berantai yang selama ini mereka cari. Korbannya lebih dari tujuh, semuanya perempuan. Nocturno bisa saja jadi yang kedelapan.
Saat Nocturno menyerahkan diri ke kantor polisi, ia sudah siap dihukum. Tapi yang ia dapat justru sambutan berbeda. Seorang polisi muda menyambutnya sambil berkata, “Kalau semua korban sekuat kamu, mungkin banyak nyawa bisa terselamatkan.”
Berita pun menyebar. Media menyebutnya “Perempuan Malam yang Mengakhiri Teror”. Di hari keempat setelah kejadian, ia dipanggil Walikota. Di balai kota, dengan Lira berdiri di sampingnya, Nocturno menerima piagam dan medali kecil. Status barunya: Warga Kehormatan Kota Raya.
Malam pun berubah wajah. Kota yang dulu membuatnya sembunyi, kini menyambutnya dengan terang.
Tim GoKreaf/ChatGPT

