Langit Jakarta pagi itu membiru sempurna, seolah ikut menyambut momen bersejarah di gedung dewan yang berdiri megah di antara lalu lintas ibu kota. Di dalam ruangan sidang utama, pendingin ruangan berdengung pelan, namun tak mampu menenangkan degup jantung Raka Darmawan yang berdiri di tengah ruangan.

Jas hitam yang baru dijahit seminggu lalu menempel rapi di tubuhnya. Keringat dingin membasahi telapak tangannya meskipun AC menyala. Ia melirik ke arah kiri, ke arah bangku undangan. Di sana duduk seorang perempuan tua dengan kerudung putih, menatapnya dengan mata berkaca-kaca—ibunya.

“Raka Darmawan, bersediakah Anda mengucapkan sumpah jabatan?” tanya Ketua Sidang, suaranya berat dan bergema di ruangan.

Raka mengangguk pelan, lalu mengangkat tangan kanannya. Di hadapannya, seorang petugas memegang Kitab Suci. Matanya fokus. Suara sumpah itu keluar dari mulutnya, lantang namun getir, seolah setiap kata adalah batu yang akan dipanggul seumur hidupnya.

“Aku bersumpah… akan memenuhi kewajiban sebagai anggota dewan dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya…”

Setiap kalimat terasa seperti jembatan yang menghubungkannya dengan masa lalu. Ia teringat saat masih bocah, berjalan kaki sejauh tiga kilometer ke sekolah dasar, melewati sawah, lumpur, dan hujan. Ayahnya meninggal saat Raka baru lulus SMP. Ibunya kemudian berjualan gorengan dan menjahit baju tetangga agar anak sulungnya bisa lanjut sekolah.

Raka tak pernah menyangka, anak petani dari desa kecil di lereng gunung bisa sampai di sini—di podium yang biasanya hanya dilihat lewat televisi.

Tepuk tangan membahana saat ia menyelesaikan sumpahnya. Tapi bagi Raka, itu bukanlah akhir. Justru itulah awal. Ia tahu, terlalu banyak orang yang bersumpah tapi lupa maknanya setelah duduk nyaman di kursi empuk kekuasaan.

Ia turun dari podium dengan langkah mantap. Ibunya menyambutnya dengan pelukan erat. “Kau sudah besar, Nak,” bisiknya, menahan tangis haru.

Raka tidak menjawab. Ia hanya memegang tangan ibunya, tangan kasar yang penuh luka, tangan yang telah mendorongnya sampai ke sini.

Beberapa rekan sejawat menyalami Raka, sebagian dengan senyum basa-basi, sebagian lagi dengan tatapan menilai. Tapi Raka tidak peduli. Yang ia pikirkan hanya satu: jangan sampai kursi ini menjadikannya lupa bahwa ia pernah duduk di lantai kelas dengan kaki berlumpur, demi belajar membaca.

Hari itu, Raka bersumpah di hadapan negara. Tapi dalam hatinya, ia bersumpah untuk rakyat. Untuk ibunya. Untuk dirinya yang dulu—yang kecil, miskin, dan tak pernah menyerah.

Tim GoKreaf/ChatGPT

Please follow and like us:
error72
fb-share-icon0
Tweet 5