
“Aku sudah mati sebagai lelaki.
Kini aku suami dan ayah.”
Ketika aku menuliskan quote ini, banyak yang bertanya apa maksudnya. Kalimat “Aku sudah mati sebagai lelaki. Kini aku suami dan ayah” adalah pernyataan yang saya padatkan tapi maknanya bisa ditafsirkan dari beberapa sudut pandang, baik psikologis, sosial, maupun filosofis. Aku coba jelaskan ya:

1. Makna Simbolik dan Filosofis
“Aku sudah mati sebagai lelaki” bukan berarti mati secara fisik, melainkan kematian simbolik dari sosok lelaki bebas, individualistik, atau maskulin dalam arti konvensional—yaitu seseorang yang hidup untuk dirinya sendiri, bebas dari tanggung jawab besar terhadap orang lain. Aku sudah tidak merokok, nge-geng, minum, begadang malam di bar, misalnya.
Kalimat berikutnya, “Kini aku suami dan ayah,” adalah rebirth—kelahiran kembali dalam peran yang lebih berat dan kompleks, yaitu sebagai pemimpin keluarga, pelindung, sekaligus panutan. Anakku sekarang 4 da mereka sudah kuliah semua.

2. Dari Kebebasan ke Tanggung Jawab
Kalimat ini juga bisa dilihat sebagai perjalanan dari fase pria lajang ke pria dewasa yang matang:
- Dulu, sebagai “lelaki”, mungkin bebas memilih, bebas bermimpi, hidup untuk diri sendiri.
- Tapi setelah menjadi suami dan ayah, semua berubah. Sekarang hidupnya bukan untuk dirinya sendiri lagi. Ia memikul tanggung jawab moral, finansial, dan emosional terhadap orang lain.

3. Kesimpulan Sederhana
Kalimat ini adalah potret pergulatan batin aku sebagai seorang pria yang menyadari bahwa pernikahan dan menjadi ayah mengubah diriku secara total—bukan hanya status sosial, tapi juga cara berpikir, merasa, dan bertindak.
Gol A Gong



