Di sebuah kampung kecil bernama Tegalresik, pagi selalu datang dengan wangi embun dan kokok ayam. Matahari muncul malu-malu di balik perbukitan, menerangi sawah yang masih berbalut kabut tipis. Di saat para petani sudah mengayunkan cangkul, di sebuah rumah berdinding papan, Arwan masih tenggelam dalam mimpinya.

“Arwan… bangun, Nak. Bantu Bapak angkut kayu dulu sebelum panas,” kata ibunya dari dapur, suaranya pelan namun penuh harap.

Tak ada sahutan.

Ia mendekat ke kamar. Ditariknya gorden usang yang menggantung seadanya di pintu kamar anaknya. Di dalam, Arwan menggulung diri seperti ulat dalam kokon.

“Arwan!” Ibunya meninggikan suara.

“Haaah… apaan sih, Bu? Baru juga jam enam! Masih pagi, masih ngantuk ini,” sahut Arwan sambil menarik selimut lebih rapat.

Ibunya hanya bisa menghela napas. Sudah bertahun-tahun Arwan begitu. Sejak lulus SMA, ia tak pernah benar-benar mencari kerja. Setiap ada lowongan yang ditawarkan, selalu ada alasan untuk menolak.

“Ah, kerjanya jauh.” “Gajinya kecil.” “Capek, nanti sakit.”

Hari-hari Arwan dihabiskan dengan tidur, makan, main HP, lalu tidur lagi. Kadang bantu ibunya ke warung, tapi itu pun kalau ia sedang mood. Ibunya sering mengeluh ke suaminya.

“Mas, sampai kapan Arwan begini terus? Aku takut, kalau nanti kita nggak ada, siapa yang urus dia?”

Tapi sang bapak hanya menjawab dengan tatapan kosong, tubuhnya sudah terlalu letih untuk memikirkan lebih jauh.

Orang-orang kampung mulai membicarakannya. “Bagai kambing dimandikan pagi,” kata mereka. “Disuruh sedikit, ngeluhnya panjang. Tak bisa disuruh kerja, tak mau belajar berdiri sendiri.”

Namun Arwan tak peduli. Ia merasa hidupnya baik-baik saja. Ada makanan di meja, ada tempat tidur yang empuk, dan ada orang tua yang sabar.

Hingga suatu hari, badai benar-benar datang.

Bapaknya jatuh pingsan di tengah ladang. Serangan stroke membuat separuh tubuhnya lumpuh. Tak lama, ibunya menyusul sakit. Kelelahan, katanya. Ketika keluarga yang biasanya menjadi penyangga hidup tiba-tiba tumbang, Arwan panik.

Rumah yang biasanya tenang kini penuh keluh kesah dan tangisan.

Ia bingung harus berbuat apa. Mau minta bantuan tetangga? Dulu ia terlalu angkuh. Mau cari kerja? Tak punya keterampilan. Mau pinjam uang? Tak ada yang percaya. Hari demi hari, beras habis, utang mulai menumpuk, dan obat-obatan tak terbeli.

Arwan pun duduk di depan rumah, menatap kosong jalan kampung yang berdebu. Untuk pertama kalinya, ia menangis. Bukan hanya karena takut, tapi karena malu—terlalu lama menjadi beban, terlalu sering bersembunyi dari kenyataan.

Pagi itu, ketika embun masih menggantung di ujung daun, Arwan bangun lebih awal. Ia mengisi dua jerigen air dan berjalan menuju ladang. Tangan yang biasanya hanya menggenggam ponsel kini menggenggam cangkul. Ia tak bisa mengubah masa lalu, tapi ia masih bisa menjemput sisa waktu dengan peluh dan kesungguhan.

Di kejauhan, seorang tetangga memperhatikannya. Ia berbisik pada istrinya, “Akhirnya kambing itu mau dimandikan pagi.”

Please follow and like us:
error71
fb-share-icon0
Tweet 5