
Malam itu hujan turun deras di Desa Cibinong Timur. Awan gelap menggulung seperti selimut tebal yang menutupi langit. Di sebuah rumah panggung tua yang telah diwarisi turun-temurun, Dina tinggal seorang diri. Ibunya meninggal tahun lalu, dan sejak itu, rumah itu terasa berbeda—lebih dingin, lebih sunyi… dan kadang, terlalu sunyi sampai terdengar suara-suara yang tak seharusnya ada.
Dina sedang menanak nasi ketika mendengar suara berderit dari atas loteng. Padahal, loteng itu sudah lama tak terpakai. Tak ada tangga menuju ke sana, hanya lubang kecil di langit-langit ruang tengah, tertutup papan kayu.
“Angin,” katanya meyakinkan diri sendiri. Tapi suara itu muncul lagi. Kali ini seperti suara langkah pelan… kemudian gesekan sesuatu diseret.
Malam berikutnya, suara itu datang lagi. Dina mencoba berani. Ia berdiri di bawah lubang loteng sambil membawa senter dan berkata, “Kalau ini rumahku, tunjukkan kalau kau hanya mau numpang. Tapi kalau mau mengganggu, aku tak akan diam.”
Angin tiba-tiba berembus dari lubang kecil itu, padahal semua jendela tertutup.
Keesokan harinya, Dina mencari informasi dari Pak Karyo, tetua desa. Pak Karyo mengerutkan kening saat mendengar cerita tentang loteng.
“Kau tahu, dulu pernah ada pembantu rumah tangga di situ. Namanya Mbak Sri. Ia meninggal… tragis. Tapi orang-orang diam. Katanya, arwahnya belum pernah pergi dari rumah itu.”

Dina pulang dengan perasaan campur aduk. Ia menyiapkan sesajen sederhana—air putih, kembang tujuh rupa, dan doa dari ibunya yang masih ia hafal.
Malam itu, suara kembali terdengar, namun tak lagi menakutkan. Lebih seperti rintihan… atau tangisan pelan. Dina berdiri di bawah loteng dan berbisik,
“Kalau kau masih di sini, semoga kau bisa tenang. Aku doakan dari hati.”
Dan sejak malam itu, suara dari loteng tak pernah terdengar lagi. Tapi kadang, setiap hari Kamis malam, Dina mencium aroma melati samar dari arah loteng… seakan ada yang lewat, mengucapkan terima kasih.
Tim GoKreaf/ChatGPT

